Menyoal Emisi Karbon dan Penyelamatan Ekosistem Batang Toru
MEDAN, FORESTEARTH.id – Emisi karbon merupakan proses karbon dioksida ke atmosfer yang terjadi secara alami maupun dipicu aktivitas manusia, seperti deforestasi, konsumsi listrik, hingga kegiatan industri manufaktur.
Dalam hal ini, emisi karbon merujuk pada pembakaran segala senyawa yang mengandung karbon, seperti CO2, kayu, hingga bahan bakar hidrokarbon.
Aktivis sekaligus peneliti kawasan Batang Toru, Denizen Banuera mengatakan isu karbon sebenarnya bukan isu yang baru yang diperbincangkan secara global. Bersamaan dengan perubahan iklim yang semakin ekstrim.
Ditambah, isu perubahan iklim kini sudah banyak menarik perhatian kalangan anak muda karena dampak yang dihasilkan sangat dekat ke generasi yang ada juga generasi selanjutnya.
Hal itu lah yang memicu tumbuhnya kesadaran untuk membahas dampak perubahan iklim, salah satunya pelepasan emisi karbon. Secara sederhana, emisi karbon adalah gas karbon yang dihasilkan dari seluruh aktivitas mahluk hidup yang kegiatannnya menghasilkan cadangan karbon ke udara.
“Baik dari pertanian, peternakan, industri rumah tangga dan masih banyak lagi. Ini yang diakumulasikan lalu dihitung menjadi suatu kumpulan dan akhirnya menjadi emisi karbon,” ujar Denizen, Sabtu (31/3/2023) siang.
Dikatakannya, membicarakan emisi karbon adalah tentang bagaimana menjamin keberlangsungan hidup hari ini dan generasi yang akan datang. Dia mencontohkan ketika tahun 2012 datang ke Medan, cuaca tidak begitu panas.
Naik sepeda motor dengan baju lengan pendek tidak masalah. Kini, terpaksa harus mengenakan lengan panjang karena cuaca panas.
“Belum lagi es di kutub yang mulai mencair dan mengancam makhluk hdup di sana. Anomali cuaca mengakibatkan masyarakat daerah pertanian harus mengubah jadwal tanam dan panen mereka,” jelasnya.
Menurutnya, deforestasi hutan yang cukup massif di Indonesia, sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim dan adanya emisi karbon.
Isu ini sudah dibaca pemerintah, sehingga lahir skema Forest Reference Emission Level (FREL) untuk menghitung akumulasi karbonnya. Namun, kondisi di Indonesia sekarang ini justru sebaliknya.
Data dari Forest Watch Indonesia menyebutkan, peningkatan dalam estimasi deforestasi setiap tahun; yaitu pada tahun 1970-an 300.000 hektare per tahun, pada tahun 1981, 600.000 hektare per tahun, pada tahun 1990, satu juta hektare per tahun.
Periode 1996-2000 laju deforestasi di Indonesia mencapai 2 juta hektare per tahun. Pada rentang 10 tahun berikutnya laju deforestasi mencapai 1,5 juta hektare per tahun dan periode 2009-2013 sebesar 1,1 juta hektare per tahun.
Pada periode tahun 2009-2013, hutan Indonesia hilang seluas 1,13 juta hektare setiap tahunnya. Kecepatan hilangnya hutan Indonesia setara dengan 3 kali luas lapangan sepak bola per menitnya.
Ekosistem Batang Toru Adalah Solusinya Ekosistem Batang Toru atau dikenal dengan bahasa lokal Harangan Tapanuli terdiri dari kawasan hutan tropis daratan rendah, berbukit, hingga terjal pegunungan yang terletak di tiga kabupaten antara lain Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan.
Kawasan hutan Batang Toru memiliki luas kurang Lebih 120.000 hektare terbagi menjadi tiga blok yaitu blok timur, blok barat dan blok Sibual-buali yang dipisahkan oleh lembah retakan Sumatera.
Ekosistem Batang Toru ini adalah satu dari sedikitnya ekosistem di Indonesia yang masih memiliki hutan alami di Indonesia. Ekosistem Batang Toru menawarkan pemandangan alam yang luar biasa dari air terjun, hutan lebat, dan memiliki fitur alam yang luar biasa.
Ekosistem Batang Toru juga memiliki nilai biodiversitas yang tinggi dan menyimpan kekayaan flora dan fauna yang beragam.
Denizen menjelaskan, kawasan Batang Toru yang terdiri dari hutan lindung dan konservasi ini menjadi satu-satunya kekayaan yang masih dimiliki Sumatera Utara.
Menurutnya, masyarakat masih banyak yang terjebak tentang pemanfaatan hutan yang hanya dibayangkan sebagai pengahasil kayu untuk dijual dan mendapatkan uang.
Padahal menurutnya ada yang tidak kasat mata dan bisa diakumulasikan serta tidak lebih rendah dari uang yang didapat dari kayu pohon yang ditebang.
“Sayangnya pemerintah kita tidak membuka kran perdaganan karbon ini,” tambah Denizen.
Denizen mengatakan potensi yang dimiliki ekosistem Batang Toru sangat besar dalam pengurangan emisi karbon. Menurutnya dari tutupan hutan saja seperti kawasan hutan primer mampu menghasilkan 100 ton karbon yang bisa diserap per hektarnya.
“Bayangkan, itu saja berapa juta ton yang bisa dihasilkan Batang Toru secara keseluruhan yang bisa terserap emisi karbonnya. Belum lagi tutupan hutan sekunder atau sumber persawahan dan campuran yang semuanya dapat diakumulasikan jasa lingkungannya,” jelasnya.
Populasi pohon jati putih (Gmelina aborea) di kawasan ekosistem Batang Toru yang memiliki jumlah serapan paling besar berjumlah 39 ton per hektarnya.
Ini disebabkan, semakin tinggi pohon dan diameternya semakin lebar, maka semakin besar pula serapan yang dimilikinya.
Denizen berharap, gerakan penyelematan lingkungan hidup khususnya kawasan ekosistem Batang Toru sebagai rimba terakhir harus semakin konsisten.
Gerakan ini bisa diimbangi dengan melahirkan data-data yang relevan atau hasil riset dan penelitian untuk dijadikan acuan sebagai penyadaran kepada publik.
Kampanye di kalangan anak muda, menurut Denizen, bisa menjadi kunci agar isu tentang emisi karbon ini dapat menjadi permasalahan yang serius baik dikalangan masyarakat itu sendiri maupun pemangku kebijakan.
Leave a Comment