Walhi Sumut Kawal Ranperda Rencana Zonasi RZWP3K
MEDAN, FORESTEARTH.id – Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (Walhi Sumut) mengawal 7 rancangan peraturan daerah yang bersinggungan dengan lingkungan hidup, kehutanan dan masyarakat adat. Walhi Sumut menginginkan adanya pelibatan masyarakat dan juga non government organization (NGO) dalam penyusunannya.
Manajer Program Wilayah kelola Rakyat Walhi Sumut, Antonio Sipayung mengatakannya pada Selasa (24/9/2018). Dikatakannya, 7 dari 20 ranperda yang sudah masuk dalam program legislasi daerah (prolegda) yang dibahas DPRD tersebut di antaranya tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, pengelolaan hutan, perlindungan, pengelolaan lingkungan, zonasi pengelolaan wilayah pesisir, persampahan dan limbah, dan pertambangan mineral dan batubara.
Pihaknya menyoroti pembahasan 7 ranperda tersebut dengan serius. Menurutnya, pelibatan masyarakat dan NGO sangat penting mengingat ranperda adalah regulasi yang mengatur tentang pengelolaan. “Kita ingin melihat bahwa usulan masyarakat sipil atau NGO itu terakomodir dalam ranperda yang akan dibahas di DPRD Sumut,” katanya.
Satu ranperda dicontohkannya mengenai zonasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Menurutnya, kawasan mangrove sudah banyak yang beralih fungsi menjadi kawasan industri dan terdampak pengambilan pasir laut ataupun kegiatan-kegiatan lain yang mengancam pengelolaan wilayah itu.
Hal yang harus dilakukan adalah melindunginya karena 10% wilayah pesisir harus menjadi wilayah konservasi. Akan tetapi pihaknya melihat wilayah mangrove maupun pesisir kondisinya rusak parah sedangkan wilayah barat juga memiliki ancaman lain misalnya menyangkut penyu yang keberadaannya terancam akibat ulah manusia.
Dalam persoalan ini, pihaknya terus mengadvokasi masyarakat dalam mengelola wilayahnya. Dari ranperda itu sendiri, masyarakat harus terlibat aktif. Pihaknya juga mendorong agar ranperda berpihak kepada masyarakat dan lingkungan. “Harapannya ini ranperda di era gubernur yang baru, isinya lebih mengayomi masyarakat luas,” katanya.
Sebelumnya, Anton mengatakan, secara filosofis, optimalisasi peran sektor kelautan dan perikanan dengan menghadirkan Kementerian (khusus) Kelautan dan Perikanan satu dekade terakhir tidak boleh sekadar memindahkan pundi-pundi ekonomi yang hampir ‘bangkrut’ di darat ke laut.
Apalagi amar putusan Mahkamah Konstitusi (TAP MK Nn.3/PUU-VIII/2010) telah menegaskan bahwa kebijakan privatisasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah perbuatan yang melanggar konstitusi. Kedua, secara teknis, pemerintah dan DPR perlu merevisi seluruh aturan, baik pusat maupun daerah, yang merujuk semangat pengelolaan dan privatisasi ala HP-3 (Hak Penguasaan Perairan Pesisir).
Termasuk ‘membersihkan’ wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil dari berbagai wujud komersialisasi yang memiskinkan. Di Sumatera Utara, misalnya, telah ada Peraturan Daerah No 5 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang di dalamnya terang menyebut hak pengusahaan perairan pesisir.
Pada tahap ini, kata dia, konsolidasi masyarakat sipil lintas sektor perlu diperbesar untuk mengkampanyekan substansi keberhasilan organisasi nelayan dalam mengawal konstitusi, sembari menginspirasi kemenangan serupa di sektor strategis lainnya. Termasuk, mempercepat proses pembatalan terhadap perda maupun ranperda di wilayah masing-masing.
Secara operasional, negara wajib memulihkan hak-hak konstitusional warga nelayan : hak untuk melintas (akses); hak untuk mengelola sumber daya sesuai kaidah budaya dan kearifan tradisional yang diyakini dan dijalankan secara turun-temurun; hak untuk memanfaatkan sumber daya; termasuk, menjamin agar tidak ada lagi penggelontoran material pencemar ke laut.
Direktur Pusat Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Nelayan (P3MN), Leonardo Marbun mengatakan, ranperda RZWP3K memgesampingkan UU No 7/2016 tentang Perlindungan Nelayan Tangkap, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Ranperda ini hanya mengalokasikan kawasan konservasi 3% dari yang seharusnya 10%.
Kemudian, di tahun 1990 pesisir Sumut bermunculan ribuan pertambakan dengan menghancurkan kawasan mangrove dan saat ini pertambakan tersebut sudah mengalami penyusutan. Kawasan mangrove, merupakan kawasan tempat pemijahan (proses pengembangbiakan) ikan-ikan yang menjadi penghidupan nelayan tradisional. Kawasan mangrove di Sumut hancur dan nelayan tradisional semakin terpinggirkan.
“Kita mengantisipasi ranperda ini. Kita khawatir dijadikan topeng untuk membuka ruang perizinan transaksional dan eksploitatif. Kita tahu ranperda harus sudah dibahas di 2018, jangan sampai ada kepentingan pragmatis mengingat sebentar lagi pilkada,” katanya.
Sutrisno, dari Aliansi Nelayan Sumatera Utara (ANSU) mengatakan, kesulitan nelayan, contohnya di Desa Paluh Sibaji, Pantai Labu, Deliserdang adalah semakin parahnya abrasi akibat pengerukan pasir untuk menimbun untuk pembangunan Bandara Kuala Namu beberapa tahun lalu. ANSU merupakan sekumpulan lembaga masyarakat yang konsen dalam isu lingkungan hidup, masyarakat sipil, dan nelayan, terdiri Walhi Sumut, KNTI LANGKAT, FSNN, SNSU, SNI, MANTAB, SNM, PPNI dan P3MN.
Leave a Comment