Peran Penting Perempuan Adat Menjaga Kelestarian Alam
MEDAN, FORESTEARTH.id – Perempuan dalam komunitas masyarakat adat memiliki hubungan yang kuat dengan alam, lingkungan dan budayanya. Nilai-nilai itu yang membentuk cara hidup dengan pemahaman mengolah, memanfaatkan dan menjaga kelestarian sekaligus melindunginya dari kerusakan.
Manager Program Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut, Fhiliya Himasari pekan lalu menjelaskan, secara umum peran perempuan sangat penting dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Fakta bahwa kodrat perempuan melahirkan dan merawat anak dari kandungan hingga dewasa. Peran perempuan juga tidak bisa dibatasi dalam ruang domestik karena banyak ditemukan perempuan punya andil besar dalam banyak aspek kehidupan.
Karenanya, baik buruknya lingkungan hidup pertama kali akan dirasakan oleh perempuan. Mulai dari kebutuhan air bersih, menjaga ketersediaan sumber pangan yang baik.
“Semua itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk anak, suami dan keluarganya yang lain,” ujarnya.
Kondisi ini yang menjadi landasan penting ketika perempuan ikut andil dalam kelestarian lingkungan hidup, maka kelestarian antargenerasi pun ikut terjaga. Apalagi jika berbicara tentang perempuan adat. Menurutnya, perempuan adat yang sudah menetap dan tinggal turun temurun di suatu wilayah warisan leluhur tentu lebih besar lagi perannya.
Perempuan adat berhubungan langsung dengan hutan, sungai serta lahan pertanian. Mereka menggantungkan sepenuhnya kebutuhan mereka terhadap lingkungan.
Hubungan spiritual pun tumbuh dengan kondisi wilayah. Ketika perempuan adat tidak dilibatkan dalam penyelamatan lingkungan hidup, mereka akan kehilangan proses kehidupan mereka sendiri.
“Ibu-ibu di desa butuh sungai bersih untuk minum, mencuci pakaian bahkan mandi. Perempuan adat membutuhkan lahan pertanian agar bisa makan nasi dan dapat bahan pokok dapur, perempuan adat membutuhkan hutan agar hubungan spiritual mereka tetap terjalankan. Segitu pentingnya lah hubungan lingkungan hidup dengan perempuan adat,” jelasnya.
Pendiri komunitas Perempuan Hari Ini (PHI), Lusty Ro Manna Malau, mengatakan tidak ada pembeda khusus antara perempuan dan laki-laki dalam pelestarian lingkungan hidup karena semua memiliki hak dalam memperjuangankannya.
“Contohnya seperti pengelolaan ramuan obat-obatan, pengawetan makanan dalam masa berburu dulu, peran utamanya justru perempuan,” ujarnya.
Walaupun perempuan adat bersinggungan langsung dengan negara dan mereka tercatat dalam administrasi, tapi mereka yang termasuk dalam kelompok perempuan adat mengakui mereka tinggal di tanah mereka yang telah diwarisi sejak dahulu. Sehingga mereka menanggap bahwa tanah yang mereka tinggali bukan milik negara.
“Jadi perempuan sebagai pencipta keberadaban memiliki peran andil dalam hal ini. Apalagi perempuan adat yang bersinggungan langsung. Mereka memiliki ikatan secara spiritual dengan alam secara tidak langsung.” jelasnya.
Menurutnya, perempuan adat harus diberikan ruang politis di mana mereka mendapatkan kesempatan untuk berbicara, mendapatkan pengetahuan dan bergerak dalam kelestarian lingkungan hidup. “Tak bisa dipungkiri, perempuan adat memiliki perilaku maintenance yang memadai,” tutup Lusty.
Dalam keterangan tertulisnya terkait Hari Hutan Sedunia pada 23 Maret 2023, Komnas Perempuan menjelaskan peran perempuan dalam pelestarian hutan sejak lama hutan telah memiliki fungsi yang sangat mendasar dalam kehidupan masyarakat di
antaranya, menjadi sumber pangan dan obat, sumber air, membersihkan udara, menangkap karbon untuk melawan perubahan iklim, serta meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2022), luas hutan di Indonesia mencapai 125.76 juta hektar. Namun derasnya arus pembangunan yang didasarkan pada semangat ekonomi kapitalisme dengan mengedepankan eksploitasi sumber daya alam telah berdampak pada kerusakan hutan.
Sepanjang 2022 Komnas Perempuan telah menerima 16 kasus Sumber Daya Alam dan Tata Ruang yang berdampak pada pemenuhan hak perempuan. Masyarakat sekitar hutan kehilangan akses terhadap hutan, tercerabutnya akar budaya dan terjadinya kekerasan terhadap masyarakat di sekitar hutan, termasuk pada perempuan dan anak-anak.
Alih fungsi hutan juga menyasar pula pada hutan adat. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 mengakui hutan adat dan hak-hak masyarakat adat untuk mengelolanya. Namun sayangnya sampai 2022 penetapan hutan adat di Indonesia baru mencapai 148.488 Hektar.
Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan peta wilayah adat yang diserahkan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) ke Pemerintah seluas 12.4 juta Hektar. Selain pengakuan terhadap hutan adat, perencanaan alih fungsi hutan harus memprioritaskan perlindungan terhadap masyarakat khususnya dampaknya pada perempuan.
Komisioner Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, Bahrul Fuad menggarisbawahi pentingnya partisipasi perempuan termasuk perempuan adat dan perempuan di sekitar hutan untuk dilibatkan secara aktif dalam dialog rencana alih fungsi hutan.
Perempuan adat merupakan kekuatan integral melawan perubahan iklim dan pelestarian sumber daya alam bumi. Hubungan mereka yang mengakar dengan tanah, pengetahuan yang mendalam tentang ekosistem, dan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap komunitas mereka menjadikan mereka sekutu yang tak ternilai dalam upaya kolektif kita untuk dunia yang berkelanjutan dan harmonis. (YAEL)
Leave a Comment