Riset Scooping Industri Nikel untuk EV, Indonesia Belum Punya Roadmap Hulu – Hilir
MEDAN, ForestEarth.id – Indonesia dikaruniai kekayaan sumber daya alam yang melimpah, salah satunya nikel. Presiden Joko Widodo berulangkali menyatakan bahwa Indonesia mampu untuk menjadi pemain utama dalam industri nikel, khususnya dalam hal electric vehicle (VH). Hanya saja, masih banyak catatan kritis mulai dari regulasi, belum adanya peta rantai pasok dan lain sebagainya.
Hal tersebut terungkap dalam press conference daring pada Kamis (30/11/2023) sore. Direktur Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan mengatakan, pertanyaan besarnya adalah apakah pilihan membangun electric vehicle (EV) dan infrastrukturnya merupakan jalan terbaik bagi Indonesia untuk mengurangi secara signifikan emisi yang mendorong pemanasan global.
Hal yang harus diperhatikan adalah rangkaian rantai pasok hulu dengan fokus pertambangan, rantai pasok antara dengan fokus smelter, dan rantai pasok hilir dengan fokus produk baterai bagi kendaraan listrik (EV). Indonesia, kata Dana, belum memiliki roadmap terkait EV ini karena masih ada beberapa yuridiksi.
“Belum tahu siapa memegang koordinasinya karena masing-masing kementrian masih berjalan sendiri. Aturan terkait sudah banyak tapi sering berubah dan ini akan jadi potensi masalah dalam penegakan hukum nantinya. Begitupun rencana pembangunan terkait kendaraan listrik masih belum menyeluruh. roadmap EV ini harus transparan, karena publik berhak audit,” katanya.
Hal senada diungkapkan Halim Sembiring, juga dari Green Justice Indonesia mengatakan, riset scooping ini dilakukan secara konsorsium antara Green Justice Indonesia, Nexus3 dan dWI tentang pemetaan regulasi, aktor dan skema pendanaan untuk mineral yang mendukung EV seperti nikel, bauksit, tembaga, mangaan, lithium dan cobalt.
Dijelaskannya, ada 73 aturan yang lahir setelah 2009 namun terlihat masih mengikuti aturan sebelumnya misalnya terkait perlindungan Hak Azasi Manusia, ketenagakerjaan dan lain sebagainya. Seharusnya pemerintah menerbitkan aturan yang lebih spesifik dari hulu ke hilir.
Pemerintah juga harus mengambil pelajaran dari kerusakan lingkungan akibat tambang nikel di Konawe, Morowali dan Kepulauan Sangihe dan lainnya. Jika tidak maka potensi pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan hidup masih akan terjadi. “Dari 73 aturan itu banyak membahas tentang penerbitan izin, perpajakan, keuangan dan lain sebagainya,” katanya.
Senior Advisor Nexus3, Yuyun Ismawati menyoroti ambisi pemerintah untuk menjadi pemain utama EV di tengah masih banyaknya aturan yang belum sinkron. Faktanya Indonesia tidak memiliki cadangan lithium yang merupakan salah satu komponen penting bahan baku EV. Tanpa lithium, lanjut Yuyun, nikel tidak bisa dipakai untuk EV.
Dengan situasi tersebut, maka ada potensi untuk impor limbah baterai bekas yang mana ini bukan tanpa masalah. Limbah baterai yang memiliki kandungan logam berat membutuhkan pengelolaan yang tepat agar tidak menjadi sumber pencemaran lingkungan.
“Aturan yang kita punya masih mismatch. Lithium kita tidak punya, ada potensi impor limbah baterai bekas, ini bukan tanpa masalah,” katanya.
Program Officer Nexus3, Annisa Maharani mengatakan, nikel di Indonesia mayoritas digunakan untuk stainless steel. Sementara untuk menjadikannya baterai EV masih sangat sedikit. Untuk membuat baterai EV dibutuhkan grade lebih tinggi.
Industri nikel harus mengurus izin dengan baik.
Tidak melakukan perusakan lingkungan dan menjaga keanekaragaman hayati. “Misalnya air limbah harus ditreatment, setelah polutan berbahaya hilang, baru dibuang. Pemerintah harus make sure bikin makmur warga yang di daerah industri,” katanya.
Leave a Comment