Melihat Pertanian Organik Sebagai Solusi Menghadapi Perubahan Iklim
MEDAN, ForestEarth.id – Berbagai peristiwa alam mulai dari peningkatan suhu rata-rata bumi, pergeseran pola musim, bencana alam, ancaman krisis pangan dan air bersih hingga kerusakan ekosistem terjadi akibat perubahan iklim. Sektor pertanian disebut salah satu pemicunya. Tapi ada pola pertanian berkelanjutan yang dianggap sebagai solusi; pertanian organik.
Beberapa waktu lalu, tepatnya di Desa Jambur Pulau, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara seorang petani bernama Jumino tampak memperhatikan panen padi seluas 2,5 hektare. Ada dua varietas padi yang ditanam di lahan tersebut yakni halus wangi dan pandan wangi. Menurut Jumino, di lahan itu padi ditanam secara organik.
Jumino merupakan Ketua Kelompok Penjaminan Mutu Organik (PAMOR) Serdang Bedagai. PAMOR sendiri merupakan sistem penjaminan partisipatif dalam pertanian organik yang melibatkan petani atau produsen dengan pihak lain seperti pedagang, konsumen, LSM, dan pemerintah dalam menilai sistem mutu yang sesuai dengan standar organik yang bertujuan memberi penjaminan organik bagi pasar lokal/nasional dan diprioritaskan bagi kelompok tani.
“Ini panen padi organik. Kita memang sudah jadwalkan akan panen padi organik seluas 60 rante yang terbagi menjadi dua varietas, yakni halus wangi dan pandan wangi. Ini umurnya 111 hari. Prediksi kita mencapai 16 ton. Kita yakin karena panen sebelumnya kemarin 14 ton,” katanya.
Dua varietas itu memiliki kesamaan aroma yang sama-sama wangi. Perbedaannya adalah, varietas halus wangi, ukuran berasnya panjang namun lebih kecil. Saat dimasak terasa lembut/pulen. Sementara itu, varietas pandan wangi, aromanya lebih mencolok, berasnya bulat lonjong, lebih besar. Kedua varietas ini sudah dikenal masyarakat pada 2016 dan ditanam pada 2018 dengan pendampingan dari Yayasan Bitra Indonesia.
“Yang varietas pandan wangi ini, kalau nasinya dingin, agak keras dibandingkan halus wangi,” jelasnya.
Berbeda dengan pola konvensional. Pertanian organik justru menimbulkan keyakinan kepada petani tentang hasil panen yang lebih baik di kemudian hari karena dalam praktiknya meminimalkan penggunaan kimia sintetis dan meningkatkan kesehatan tanah dan biodiversitas. Dikatakannya, dalam pertanian konvensional itu, pupuk kimia, pestisida kimia, dan lainnya, banyak dipakai untuk memacu panen.
“Tapi nantinya tanah jadi keras, hasil panen pun menurun. Hal sebaliknya kalau kita pakai pola pertanian organik. Di sini sudah bisa dibuktikan,” katanya.
Desa ini merupakan pemasok beras organik varietas halus wangi dan pandan wangi. Hanya saja, stok beras organik tidak bisa dalam jumlah banyak karena belum banyak petani yang mau meninggalkan pola konvensional. Padahal, bibit kedua varietas ini sudah bisa diproduksi sendiri oleh petani.
“Kita perlu dibantu pada pemasaran. Kalau masalah keong misalnya, tidak kita basmi karena kita organik. Selama ini dikutip dengan dibuat parit sekitar bedengan. Dikumpulkan, dijual Rp 1500/kg untuk peternak bebek,” katanya.
Diketahui, sektor pertanian memiliki hubungan yang kompleks dengan perubahan iklim. Sektor pertanian menyumbangkan 10-12% dari total emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab utama perubahan iklim, menurut IPCC (2014). Emisi GRK dari sektor pertanian berasal dari berbagai sumber, seperti fermentasi pencernaan ternak, penggunaan pupuk sintetis, pembakaran lahan, dan pengolahan tanah.
Di sisi lain, sektor pertanian juga menjadi korban dari perubahan iklim, yang mengancam produktivitas, kualitas, dan keamanan pangan. Perubahan iklim dapat mempengaruhi faktor-faktor produksi pertanian, seperti ketersediaan air, kesuburan tanah, serangan hama dan penyakit, dan keragaman genetik tanaman. Perubahan iklim juga dapat meningkatkan risiko gagal panen, kerugian pasca panen, dan fluktuasi harga pangan.
Oleh karena itu, diperlukan solusi yang dapat mengatasi masalah ini, yaitu dengan menerapkan sistem pertanian yang ramah lingkungan, adaptif terhadap perubahan iklim, dan mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Salah satu sistem pertanian yang memenuhi kriteria tersebut adalah pertanian organik. Pertanian organik adalah sistem pertanian yang mengutamakan keseimbangan antara manusia, tanaman, hewan, dan lingkungan.
Pertanian organik tidak menggunakan bahan kimia sintetis, seperti pupuk, pestisida, herbisida, dan hormon, yang dapat merusak tanah, air, udara, dan kesehatan. Pertanian organik juga mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal, seperti kotoran ternak, kompos, mulsa, dan tanaman penutup, dapat meningkatkan kesuburan tanah, menghemat air, dan mengendalikan hama dan penyakit secara alami.
Pertanian organik memiliki banyak manfaat, baik bagi lingkungan, petani, maupun konsumen. Pertanian organik dapat mengurangi emisi GRK dari sektor pertanian, karena tidak menggunakan pupuk sintetis yang menghasilkan nitrogen oksida, tidak membakar lahan yang menghasilkan karbon dioksida, dan tidak menggunakan mesin-mesin berat yang menghasilkan metana.
Pertanian organik juga dapat menyerap dan menyimpan karbon di dalam tanah, melalui penggunaan bahan organik dan pengelolaan tanah yang baik. Menurut Rodale Institute (2014), pertanian organik dapat mengurangi emisi GRK sebesar 40% dan menyerap karbon sebesar 71% dibandingkan dengan pertanian konvensional. Pertanian organik juga dapat meningkatkan adaptasi sektor pertanian terhadap perubahan iklim.
Pertanian organik dapat meningkatkan ketahanan tanaman dan tanah terhadap stres iklim, seperti kekeringan, banjir, suhu ekstrem, dan salinitas. Selain itu juga dapat meningkatkan kandungan air, bahan organik, dan mikroorganisme di dalam tanah, yang dapat mempertahankan kelembaban, menyediakan nutrisi, dan meningkatkan struktur tanah.
Lebih dari itu juga dapat meningkatkan keragaman genetik tanaman, melalui penggunaan benih lokal, tanaman campuran, dan rotasi tanaman, yang dapat meningkatkan daya tahan tanaman terhadap hama, penyakit, dan perubahan lingkungan. Pengaruh positifnya, dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan konsumen, karena dapat meningkatkan produktivitas, kualitas, dan nilai tambah produk pertanian, serta mengurangi biaya produksi, ketergantungan, dan dampak negatif terhadap kesehatan.
Dengan menerapkan pertanian organik, kesuburan tanah dapat terjaga. Hama dan penyakit dapat terkendali secara alami. Pertanian organik juga dapat mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan, karena dapat mengurangi paparan bahan kimia yang dapat menyebabkan berbagai penyakit, seperti kanker, alergi, dan gangguan hormon. Pola ini sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
SDGs sendiri merupakan agenda global untuk mencapai tiga dimensi pembangunan, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pertanian organik dapat berkontribusi terhadap beberapa target SDGs, seperti mengakhiri kemiskinan dan kelaparan, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan, mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, mengatasi perubahan iklim, dan meningkatkan kemitraan global.
Mantan Bupati Serdang Bedagai yang juga merupakan Organik Amsador AlGO Asia, Soekirman mengatakan, pertanian organik adalah sistem pertanian yang tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga bagi petani, konsumen, dan masyarakat. Pertanian organik adalah sistem pertanian yang dapat mengatasi permasalahan perubahan iklim, yang merupakan ancaman bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya.
Ketua PERHIPTANI (Perhimpunan Penyuluh Pertanian Indonesia) Sumatera Utara ini mengatakan padi organik sebenarnya semakin diminati masyarakat tetapi tapi belum banyak yang mengerti secara mendetail. Dikatakannya, bahwa pertanian bisa tetap dilakukan meski hanya menggunakan pupuk organik yang diproduksi dari kotoran ternak. Penggunaan pupuk kimia sintetis sangat minim namun hasilnya tidak jauh berbeda.
“Makanya kita ingin kalau panen padi organik begini masyarakat datang supaya yakin. Lah, bisa rupanya tanam padi tanpa pupuk kimia, tanpa racun kimia dan tetap bisa panen dan hasil yang bagus,” katanya.
Pemerintah sendiri sebenarnya punya program 1000 desa organik. Namun dia mengakui belum banyak petani yang mau beranjak dari pola konvensional ke organik. Di Sumatera Utara, sudah ada beberapa kabupaten yang petaninya mulai menerapkan pertanian organik. Di Serdang Bedagai, sudah ada 5 – 6 kelompok tani yang sudah bertani organik selama 5 – 10 tahun terakhir.
Soekirman mengakui hal yang penting untuk ditingkatkan dalam pertanian organik ini adalah pemasaran. Di sejumlah mall, sebenarnya sudah ada produk yang diberi kemasan organik. Namun dengan harga yang lebih mahal. Jika pada umumnya beras organik dihargai Rp 20.000 per kg. Beras organik yang diproduksi petani di sini hanya Rp 13.000 per kg. Seharusnya lebih laku. “Tapi masyarakat menganggap beras organik itu mahal,” katanya.
Berbicara pemasaran tidak lepas dari peran kilang padi. Selama ini, kebanyakan kilang padi tidak membedakan padi organik maupun non organik. Semua jenis padi dianggap sama dan dihargai sama. Kemudian setelah digiling akan diberi kemasan dengan merek tertentu sesuka kilang. “Misalnya ada beras ramos dan lainnya, padahal kalau varietas itu dicari di lapangan, kita agak bingung. Tapi kok ada aja merek itu,” katanya.
“Tentu saja sebaiknya petani punya kilang sendiri tapi itu tidak mudah, tidak murah. Hal penting selain pemasaran adalah, gerakan konsumen produk pertanian organik itu perlu ditumbuhkan. Semakin banyak konsumen beras organik saya kira kilang besar itu akan berupaya beli beras organik,” katanya.
Berkaca dengan yang terjadi di Jepang dan Korea Selatan dalam hal pertanian organik. Di sana, lanjut Soekirman, sudah muncul gerakan konsumen pertanian organik. Kesadaran masyarakat atas produk pertanian organik sudah tinggi sehingga petani terdorong menjalankan pertaniannya secara organik. Begitupun pemerintah berani memberi jaminan harga yang baik sehingga petani tidak merugi.
“Berbeda dengan di sini yang mana gerakan pertanian organik dilakukan oleh petani atau produsennya. Di luar negeri, gerakan itu juga dilakukan oleh konsumen yang sampai punya koperasi. Dengan tingginya permintaan produk organik, petani berlomba memasok produk organiknya ke sana,” katanya.
Pertanian organik juga dilakukan petani di Desa Narumonda, Kecamatan Siantar Narumonda, Kabupaten Toba. Di desa ini, padi ditanam setahun sekali. Lahan persawahan di desa itu sebagian dulunya kawasan Danau Toba yang pada sekitar tahun 1928 ditimbun oleh Belanda untuk pertanian. Pertanian mulai maju di tahun 1970-an. Penggunaan pupuk berbahan kimia sangat minim dan benih pilihan.
Pupuk organik yang digunakan petani dibuat dari kotoran ayam, jerami, sekam padi dan molase. Sedangkan untuk mengusir hama menggunakan pestisida nabati yang dibuat bahan-bahan yang bisaa diperoleh di sekitar seperti daun ingul, kunyit, kopa dan keong. Misalnya, 4 kg daun ingul, 4 kg keong, 4 kg kunyit, dan 4 kg kopa digiling campur, sudah bisa untuk mengusir hama di lahan 26 rante.
Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali, yakni sebelum pertanaman sebanyak kompos 10 karung atau 200 kg. Kemudian, pemupukan kedua dilakukan pada saat usia tanaman 3 minggu. Penyemprotan dengan pestisida nabati hanya dilakukan bila diperlukan. Ramuan yang dibuat membuat hama yang biasanya menyerang pertanaman padinya tidak muncul. Bahkan, tikus pun tidak akan mendekat karena aromanya.
Pertanaman pola organik di desa ini dipilih karena kesadaran akan keamanan pangan masyarakat. Pasalnya, penggunaan bahan-bahan kimia dalam pertanian khususnya pupuk dan obat-obatan akan meninggalkan residu kimia yang masuk ke dalam sumber pangan yang dikonsumsi masyarakat. Tidak itu saja, kesuburan tanah juga akan mengalami penurunan.
Fakta bahwa belum semua petani mau organik karena berbagai alasan seperti kesulitan mendapatkan pupuk kompos misalnya dari kotoran ayam. Selain itu, tidak bisa mengatasi serangan hama secara cepat dibandingkan dengan pestisida ataupun herbisida kimia. Tapi untuk di sini, penggunaan pestisida kimia tidak ada atau kecil, hanya herbisida kimia itu saja.
Leave a Comment