Naiknya Permukaan Laut dan Munculnya Penyakit Kulit
MEDAN, ForestEarth.id – Namanya Juliati. Sejak 15 tahun lalu, dia tinggal di rumah sederhana di Kelurahan Labuhan Deli, Kecamatan Medan Marelan. Dia menjadi saksi bagaimana pasang urut air laut merendam rumahnya. Banyak barang rumah tangga rusak hanyut. Derita lainnya, penyakit kulit menahun yang tak kunjung sembuh.
Ditemui di rumahnya sore usai hujan beberapa Waktu lalu dia sedang mempersiapkan jualannya, sate padang. Tusuk demi tusuk diletakkannya ke dalam wadah lalu dipindahkan suaminya ke gerobak. Cuaca mendung tak bisa jadi alasan untuk tidak jualan. “Kalau tak jualan, tak ada duit. Mudah-mudahan tak hujan,” ujarnya.
Dikatakannya, banyak tantangan yang dihadapi tinggal di pesisir. Kebanjiran bukanlah hal aneh karena bisa terjadi kapan saja. Mulai dari 10 cm hingga 1 meter pun dialami hampir sepanjang tahun. Kadang disebabkan hujan, kadang oleh jebolnya tanggul. Banjir yang paling sering adalah setinggi mata kaki.
Sore itu, hujan bersamaan dengan pasang laut membuat banjir dari ujung gang hingga rumahnya. Dikatakannya, selama beberapa tahun terakhir banjir semakin lama surut. Dia menduga ada banyak factor penyebabnya. Mulai dari semakin banyaknya pendirian bangunan di sekitar pelabuhan, sampah, perumahan,penimbunan dan lain sebagainya.
“Katanya juga ada perubahan iklim. Es di kutub mencair makanya debit air berlebih. Nggak tahu lah. Kami lah pokoknya yang kena dampak ni. Habis tu, banyak orang nimbun. perusahaan di Belawan itu. Ada yang dibendungnya, di Canang pun dibendung juga. Jadi airnya lari ke sini,” katanya.
Dampak Kesehatan
Juliati mengatakan, situasi yang terjadi selama ini membuat Kesehatannya menurun. Salah satunya adalah penyakit kulit. Dia dan anggota keluarga yang lain mengalami gatal-gatal yang sulit sembuh meski bertahun-tahun bagian kaki dan tangan. “Ini gatal-gatal, penyakit kulit, 5 tahun sudah ada ini. Menyeluruh di badan,” katanya.
Dikatakannya, hingga saat ini tidak ada perhatian dari pemerintah terhadap masyarakat. Solusi yang dilakukannya adalah jika tidak sanggup lagi menahan gatal, dia pergi ke apotek membeli obat salep. “Tapi ya begini. Bertahan lah entah sampai kapan. Maunya pemerintah turun ke sini, melihat kondisi kami dan memberi bantuan apa lah,” katanya.
Hal serupa diungkapkan Selamat. Nelayan pencari kerang itu mengatakan bahwa penyakit kulit menjadi masalah yang dialami umumnya masyarakat karena kondisi yang terjadi. Banjir yang semakin sering, suhu yang basah dan sanitasi yang kurang baik membuat masyarakat tak bisa menghindar dari penyakit kulit.
“Kalau untuk beli obat salep bisa lah. Tapi di luar itu seperti hujan, banjir, sampah, itu kami minta dibantu lah,” katanya.
Diketahui, naiknya permukaan laut yang semakin intens akibat perubahan iklim global kini memicu berbagai permasalahan serius di masyarakat pesisir Indonesia. Di antara berbagai dampak negatif tersebut, wabah penyakit kulit menjadi salah satu yang paling mengkhawatirkan.
Laporan terbaru menunjukkan peningkatan kasus penyakit kulit yang signifikan di kalangan penduduk pesisir, mengakibatkan keresahan dan tantangan baru bagi sektor kesehatan masyarakat. Fenomena ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Selama beberapa dekade terakhir, permukaan laut terus naik dengan laju yang mengkhawatirkan.
Kenaikan ini sebagian besar disebabkan oleh pemanasan global yang mencairkan es di kutub dan menyebabkan ekspansi termal air laut. Berdasarkan data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kenaikan permukaan laut di beberapa wilayah pesisir mencapai 8-10 mm per tahun.
Kenaikan permukaan laut ini membawa dampak langsung terhadap kondisi lingkungan pesisir. Banjir rob yang semakin sering dan meluas mengakibatkan genangan air asin yang merusak kualitas air tanah dan sumber air bersih. Kondisi ini menciptakan lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan bakteri dan mikroorganisme patogen, termasuk jenis yang menyebabkan penyakit kulit.
Warga yang terpaksa berinteraksi dengan air tercemar ini menjadi rentan terhadap infeksi kulit. Sebut saja seperti dermatitis kontak, infeksi jamur, dan eksim. Pemerintah daerah dan tenaga medis harus berusaha keras menangani situasi ini. Program penyuluhan kesehatan harus gencar dilakukan.
Namun, tantangan yang dihadapi cukup besar mengingat infrastruktur kesehatan yang terbatas dan sulitnya mengubah kebiasaan masyarakat yang telah lama beradaptasi dengan kondisi pesisir yang sulit. Faktor ekonomi juga memperburuk situasi. Banyak penduduk pesisir sulit menghindari kontak dengan air laut yang tercemar.
Ketidakmampuan finansial untuk mengakses perawatan medis yang memadai menambah kompleksitas penanganan wabah penyakit kulit ini. Dampak ekonomi dari kenaikan permukaan laut juga mempengaruhi daya beli masyarakat, memperparah kondisi kesehatan mereka. Solusi jangka panjangnya memerlukan pendekatan holistik.
Perlu adanya sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan berbagai lembaga terkait untuk mengimplementasikan strategi adaptasi perubahan iklim, termasuk pembangunan infrastruktur yang dapat mengurangi dampak banjir rob serta penyediaan air bersih yang memadai.
Selain itu, perlu pula upaya reforestasi mangrove dan ekosistem pesisir lainnya yang dapat berfungsi sebagai penahan alami terhadap kenaikan permukaan laut. Dalam menghadapi ancaman ini, langkah-langkah pencegahan dan adaptasi sangat penting untuk melindungi masyarakat pesisir dari dampak negatif perubahan iklim.
Penyuluhan kesehatan, perbaikan sanitasi, serta peningkatan infrastruktur kesehatan harus menjadi prioritas utama untuk mengurangi penyebaran wabah penyakit kulit yang semakin mengkhawatirkan. Tanpa tindakan segera dan terkoordinasi, masyarakat pesisir akan terus menghadapi risiko kesehatan yang serius akibat naiknya permukaan laut.
Leave a Comment