Cerita dari Simalungun, Tak Sebutirpun Padi Bisa Dipanen karena Tikus, Kini Dilanda Kekeringan
MEDAN, ForestEarth.id – Namanya Imelda Damanik (58). Dia adalah satu dari sekian banyak petani padi yang tak bisa memanen sebutirpun karena serangan hama tikus tak terkendalikan sejak 2 tahun lalu. Kini dia beralih menanam jagung. Dua masalah yang tak bisa diselesaikannya; tikus, kekeringan, mahalnya Harga pupuk.
Ditemui pada di ladangnya di Desa Panei Tongah, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun pada yang menderita akibat serangan hama tikus dan kekeringan. Hal tersebut yang membuat banyak petani padi beralih jagung karena perawatan lebih mudah, lebih tahan hama wereng tidak membutuhkan banyak air.
“Kami sudah 3 tahun terakhir ini selalu gagal panen padi. Air sedikit, tikus banyak. Sudah gotong royong berburu tikus, banyak yang kita matikan. Tapi tetap saja, habis padi kita. Setahun lalu, tak ada sebutirpun padi bisa dipanen,” katanya.
Dikatakannya, dari sekian banyak permasalahan, kekeringan dan tikus adalah yang paling sulit yang dihadapi petani. Sudah banyak rekomendasi dari dinas terkait yang dilakukan secara bersama-sama, tidak hanya petani tetapi juga melibatkan apparat saat berburu tikus. Berapapun yang berhasi ditangkap, akan muncul tikus dalam jumlah yang lebih banyak datang menyerang.
“Tak tau apalagi yang bisa dibuat. Belerang sudah kita bakar, kita tembakkan di lubangnya. Berhasil memang tapi rupanya jumlah tikus lebih banyak lagi. Ini pun beralih ke jagung bukan gak ada masalah. Pupuk subsidi terbatas, yang komersil harganya mahal,” katanya.
Hal serupa diungkapkan petani di Dusun Parlanggean, Desa Pematang Pane, Kecamatan Panombeian Pane, Simalungun Bernama Bahrum Simanjuntak. Dikatakannya, petani kini harus menghadapi tantangan besar dalam bertani. Serangan hama tikus yang semakin tidak terkendali memaksa mereka mengalihkan sebagian besar lahan padi menjadi ladang jagung demi bertahan hidup.
Bahrum juga menyatakan serangan hama tikus telah menyebabkan gagal panen total tahun lalu, di mana seharusnya pada bulan Juli atau Agustus mereka bisa memanen hasil tanam padi. Namun, tak satu butir pun padi berhasil diambil karena serangan hama tikus yang terus berdatangan ke sawah dan memakan padi yang akan dipanen.
“Kami menanam padi di bulan April dengan harapan bisa panen di bulan 7 atau 8, tapi tikus menghancurkan semuanya. Tahun ini kami mencoba lagi, namun tanaman padi yang baru berumur dua bulan sudah mulai diserang lagi. Kalau begini terus, kami tidak tahu bagaimana kami bisa melanjutkan hidup,” ujarnya frustasi.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh petani bersama pemerintah desa dan kecamatan untuk mengatasi hama ini. Salah satu cara yang dilakukan adalah berburu tikus secara massal, melibatkan seluruh warga desa, laki dan perempuan, dari anak-anak hingga orang dewasa.
“Perburuan massal tikus kami lakukan, dalam sehari kami bisa menangkap 800 hingga 1000 ekor tikus. Namun, keesokan harinya, tikus-tikus itu kembali dengan jumlah yang lebih banyak,” jelasnya.
Bahrum menduga penyebab semakin banyaknya hama tikus di desanya adalah berkurangnya jumlah ular, predator alami tikus, akibat penggunaan racun rumput yang masif. “Mungkin karena racun rumput, ular-ular tidak betah lagi tinggal di sini, sehingga populasi tikus tidak terkendali,” tambahnya.
Di tengah serangan tikus yang tidak kunjung usai, para petani kini mencoba bertahan dengan beralih menanam tanaman palawija seperti jagung. “Sekitar 30% lahan padi sudah beralih menjadi ladang jagung. Kami agak trauma untuk menanam padi lagi, jadi sebagian lahan kami tanami jagung untuk menyambung hidup,” ujarnya.
Meski demikian, para petani tetap berharap ada solusi dari pemerintah untuk menanggulangi hama tikus yang terus menyerang. Selain itu, mereka juga berharap lahan pertanian mereka yang sebagian dijadikan tempat “Sekolah Iklim” bisa memberikan harapan dan masa depan yang lebih baik bagi petani di desa tersebut.
Tak Ada Air Tak Ada Ikan
Cerita yang tak kalah menyedihkan juga terjadi di Desa Jangger Letto, Kecamatan Panei, Simalungun. Charles Samosir menjelaskan, petani di desanya juga mengalami kesulitan yang sama. Sebelum kekurangan air terjadi, sawah mereka masih produktif dan bahkan bisa dimanfaatkan untuk budidaya ikan setelah panen untuk meningkatkan pendapatan keluarga.
“Dulu, habis panen padi, kita bisa masukkan ikan di sawah, tapi sekarang sudah tidak bisa lagi karena airnya kurang. Pendapatan pun jadi berkurang,” ujar sang petani.
Ia juga menyebutkan bahwa air yang dulunya cukup melimpah kini berkurang drastis setelah dialihkan untuk keperluan perusahaan air minum. Dampaknya, suplai air untuk pertanian menurun drastis. Padahal, lanjutnya, tanaman padi, yang sangat bergantung pada ketersediaan air, kini sulit dipertahankan.
“Masalahnya jelas, air terbatas. Tikus banyak. Jadi banyak petani yang akhirnya beralih ke jagung,” katanya.
Pencemaran Sungai
Selain masalah air, petani juga mengeluhkan dampak pembuangan limbah industri ke sungai yang mengalir di wilayah tersebut. Limbah tersebut menyebabkan air sungai yang dulunya digunakan untuk keperluan sehari-hari kini tidak layak pakai. “Dulu air itu bisa untuk mandi, mencuci, sekarang sudah tidak bisa lagi. Itu berpengaruh juga ke lahan pertanian,” tambahnya.
Limbah ini tidak hanya mempengaruhi hasil pertanian, tetapi juga menyebabkan peningkatan penyakit di kalangan petani dan warga setempat. Meski keluhan sudah disampaikan kepada pihak terkait, respon yang diterima dinilai kurang memuaskan. “Kami sudah pernah mengadukan ke pihak pemerintah, tapi tanggapan mereka biasa saja, kurang responsif,” ungkapnya.
Mereka berharap pemerintah lebih memperhatikan kondisi para petani, mengingat pentingnya peran petani sebagai penghasil pangan utama bagi negara. “Harapan kami, pemerintah turun langsung mendengarkan keluhan petani, jangan hanya dari pihak lain. Ketika permasalahannya ditemukan, barulah solusi bisa dicari,” ujarnya.
SLI Solusi Hadapi Perubahan Iklim
Permasalahan yang dihadapi petani di Kecamatan Panei dan Panombeian Panei adalah salah satu dampak perubahan iklim. Manajer Divisi Pengembangan Masyarakat dan Lingkungan Yayasan Bitra Indonesia, Berliana Siregar menjelaskan Dusun Parlanggean telah menjadi wilayah dampingannya selama tiga tahun terakhir.
Tantangan utama yang dihadapi petani di desa ini adalah serangan hama tikus dan kekurangan air yang diperparah oleh perubahan iklim. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Yayasan Bitra Indonesia telah meluncurkan program Sekolah Lapang Iklim yang berfokus pada pengelolaan air dan pertanian organik.
“Kita membuat lahan percontohan untuk membantu petani beradaptasi dengan perubahan iklim, terutama terkait dengan pengelolaan air. Di beberapa kelompok, ada yang mengalami kekeringan, sementara kelompok lain kebanjiran. Jadi, kita belajar bersama bagaimana mengelola air ini secara efektif,” ujar Berliana.
Setiap minggu, para petani berkumpul untuk melakukan pengamatan kondisi lahan, cuaca, pertumbuhan tanaman, serta serangan hama dan penyakit. Mereka berdiskusi dan saling bertukar pengalaman mengatasi masalah dihadapi di sawah masing-masing. Setiap hari Senin pukul 7 pagi, petani secara langsung terlibat dalam proses pengamatan dan penerapan solusi di lapangan.
Dalam program ini, semua proses pertanian yang diterapkan berbasis organik, mulai dari pemilihan bibit hingga pupuk. “Budidaya yang kita lakukan 100% organik, mulai dari bibit hingga pupuk yang digunakan. Pupuk organik cair dan zat pengatur tumbuh juga dibuat sendiri oleh kelompok petani,” ujarnya.
Dikatakannya, Yayasan Bitra Indonesia juga aktif menjalin kerja sama dengan pemerintah dan instansi terkait. Pemerintah desa, kecamatan, serta dinas-dinas terkait, termasuk Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), diundang untuk bersinergi mendukung program ini. Salah satu sinergi dengan BMKG adalah penyediaan alat pengukur curah hujan yang membantu petani dalam mengatur pola tanam dan mengantisipasi perubahan cuaca.
“Kami juga mengundang akademisi dari Politeknik Pengembangan Pertanian Medan untuk memberikan materi tentang hama dan penyakit tanaman, serta kaitannya dengan perubahan iklim,” katanya.
Program SLI ini tidak hanya dilakukan di Simalungun tetapi juga akan dibuka di Desa Damai, Kecamatan Dolok Masihul, Serdang Bedagai, dan di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, yang berfokus pada tanaman palawija dan sayuran. Berliana berharap program ini dapat terus berkembang dan memberikan dampak positif bagi petani di berbagai daerah.
Melalui program ini, petani didorong untuk menerapkan prinsip gotong royong dalam menghadapi tantangan pertanian di era perubahan iklim. “Dengan belajar bersama, kita berharap petani dapat meningkatkan produktivitas lahan mereka dan menghadapi tantangan perubahan iklim dengan lebih baik,” ujarnya.
Masyarkat Jarang Menyadari Bencana
Direktur Yayasan Bitra Indonesia, Rusdiana mengatakan, perubahan iklim menjadi isu global yang tidak dapat dihindari, dan dampaknya semakin dirasakan oleh masyarakat, khususnya para petani. “Akhir-akhir ini, kita merasakan betapa iklim ini sangat mengganggu kehidupan manusia, terutama bagi petani. Banyak yang gagal panen karena tidak bisa beradaptasi dengan perubahan iklim,” ujarnya.
Dikatakannya, Yayasan Bitra Indonesia telah mendampingi berbagai kelompok petani di Kabupaten Simalungun, Langkat, dan Serdang Bedagai untuk membantu mereka beradaptasi dengan perubahan iklim melalui berbagai program, salah satunya adalah SLI. Program ini memberikan edukasi dan pelatihan kepada petani mengantisipasi dan mengelola dampak perubahan iklim di lahan mereka.
“Petani seringkali tidak menyadari bahwa bencana di sekeliling mereka seperti kekeringan, banjir, dan serangan hama, semuanya dipicu oleh perubahan iklim. Oleh karena itu, kami mendorong petani untuk sadar akan pentingnya pengetahuan mengenai iklim dan bencana di sekitarnya,” tambahnya.
Melalui program ini, petani diajak berdiskusi tentang kebencanaan dan diajarkan bagaimana mengelola lahan secara bijak dengan mempertimbangkan perubahan cuaca yang semakin sulit diprediksi. Tujuan utama dari SLI adalah memastikan petani memiliki pengetahuan yang cukup tentang bertani secara berkelanjutan dan selaras dengan kondisi iklim yang terus berubah.
Kegiatan ini dilakukan di beberapa desa dampingan, dan setiap kelompok petani didorong untuk aktif berpartisipasi dalam pelatihan. Pihaknya juga memberikan berbagai pelatihan teknis terkait metode bertani yang ramah lingkungan serta adaptif terhadap perubahan iklim. Petani diharapkan dapat meminimalisir risiko kegagalan panen akibat perubahan cuaca yang ekstrem.
“Ketika petani mampu memahami perubahan iklim dan mengantisipasinya, mereka bisa merencanakan pola tanam yang tepat, sehingga hasil panen lebih terjamin,”
Selain SLI, pihaknya juga melaksanakan pelatihan tentang teknik pengelolaan air dan penggunaan pupuk organik yang mendukung keberlanjutan lingkungan. Dia berharap program ini bisa terus berkembang dan diterapkan di lebih banyak desa di wilayah lainnya, agar para petani semakin siap menghadapi tantangan perubahan iklim di masa depan.
“Adaptasi terhadap perubahan iklim adalah kunci untuk memastikan petani tetap bisa memanen hasil dengan baik, meskipun iklim semakin sulit diprediksi,” ujarnya.
Pengamatan Iklim Sebelum Penentuan Jenis Tanaman
Ditemui di lokasi yang sama, Kepala Stasiun Klimatologi Sumatera Utara, Wahyu, menekankan pentingnya pengamatan iklim sebagai langkah awal sebelum menentukan jenis tanaman yang cocok ditanam di suatu lokasi. Wahyu menjelaskan pengamatan curah hujan adalah kunci untuk memahami iklim di suatu daerah.
Menurutnya, pengamatannya harus dilakukan sejak awaldengan mengumpulkan data harian selama minimal lima tahun untuk mendapatkan gambaran yang akurat mengenai pola hujan, yang kemudian digunakan untuk menyusun kalender cuaca. Dari sana dibisa membuat rata-rata bulanan dan menentukan pola curah hujan.
Hal tersebut penting untuk mengetahui jenis tanaman yang cocok ditanam pada bulan-bulan tertentu,” ujarnya. Setelah data curah hujan didapatkan, BMKG baru dapat mengevaluasi apakah tanaman yang sudah biasa ditanam di suatu daerah, seperti nanas atau padi, masih sesuai dengan kondisi iklim saat ini.
Selain itu, perubahan iklim juga menjadi tantangan tersendiri. Pengamatan ini juga bukanlah tugas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) semata. Dinas Pertanian dan lembaga terkait juga berperan penting dalam menentukan tanaman yang tepat berdasarkan pola iklim yang telah diamati.
“Dengan adanya perubahan iklim, pola curah hujan juga berubah, dan itu tentu memengaruhi perencanaan pertanian,” kata Wahyu.
Wahyu menyoroti dampak perubahan iklim yang telah terjadi di berbagai daerah, termasuk Sumatera Utara. Data iklim dari daerah tersebut menunjukkan perubahan signifikan dalam pola curah hujan dan suhu selama 60 hingga 70 tahun terakhir, bahkan ada data lebih dari 100 tahun dari perkebunan di wilayah itu.
“Kami telah melihat peningkatan curah hujan di beberapa lokasi, sementara di lokasi lain justru mengalami penurunan,” ujarnya.
Perubahan ini, juga berkontribusi pada perubahan jenis tanaman di beberapa daerah. Sebagai contoh, di wilayah Marjanji, yang dulu terkenal sebagai sentra teh, kini banyak lahan berubah menjadi perkebunan sawit. Meskipun ada faktor iklim yang mempengaruhi, Wahyu juga mengakui bahwa ada faktor lain yang mungkin turut berperan dalam peralihan jenis tanaman ini.
Wahyu juga mengingatkan pentingnya peran petani dalam beradaptasi dengan kondisi iklim yang berubah-ubah. “Petani harus menyesuaikan dengan kondisi alam di sekitarnya, baik itu terkait curah hujan maupun iklim secara keseluruhan. Tidak bisa kita memaksakan suatu tanaman di lahan yang tidak sesuai,” ujarnya.
Wahyu juga menggarisbawahi pentingnya musyawarah antara petani dan dinas pertanian sebelum memulai musim tanam. Musyawarah ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi curah hujan, mengidentifikasi daerah dengan defisit atau surplus air, dan menentukan tanaman yang paling cocok untuk ditanam.
Dengan perubahan iklim yang terus berlangsung, Wahyu menekankan perlunya strategi adaptasi yang lebih baik di sektor pertanian. Ia menyebutkan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menyesuaikan kondisi lahan, seperti memperbaiki tanah yang gersang dan mengelola daerah tandus menjadi lebih subur, sebagaimana yang dilakukan di Gurun Gobi, Tiongkok.
Wahyu menyebutkan, meskipun BMKG belum mendalami kaitan antara perubahan iklim dan serangan hama, ada indikasi perubahan ini mempengaruhi habitat beberapa spesies, termasuk munculnya hama baru atau peningkatan aktivitas hama tertentu.
“Dari sisi kami, kami memang belum mengkaji lebih dalam. Baru data-data terjadi perubahan dan Ketika dinput itu karena factor perubahan iklim,” katanya.
Leave a Comment