Rehabilitasi Mangrove: Perlindungan Pesisir dan Mitigasi Perubahan Iklim di SM Karang Gading LTL
MEDAN, ForestEarth.id – Upaya pelestarian lingkungan terus bergulir di Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Sejak 2011, Kelompok Tani Hutan (KTH) Tunas Tanjung Harapan menjadi garda terdepan dalam rehabilitasi mangrove di kawasan Suaka Margasatwa (SM) Karanggading Langkat Timur Laut (LTL).
Dedi Damanik, Ketua KTH Tunas Tanjung Harapan, berbagi cerita tentang perjalanan panjang kelompoknya dalam merawat sekitar 138 hektar hutan mangrove rusak yang telah direhabilitasinya. Di lokasi pembibitan mangrove pada Selasa (3/9/2024), Dedi mengungkapkan bahwa upaya ini berangkat dari kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan secara mandiri.
“Kami memulainya pada tahun 2011. Jadi tanaman yang mati, kami sisip ulang. Awalnya sulit mengajak warga lainya untuk menanam, karena nggak semua peduli dan punya Waktu,” katanya.
Seiring waktu, Dedi dan anggota kelompoknya semakin giat menyosialisasikan pentingnya hutan mangrove kepada warga setempat. Mangrove tidak hanya berfungsi sebagai pelindung alam dari abrasi, tetapi juga penting dalam menjaga sumber mata pencaharian nelayan lokal.
Dibantu pihak lain, pihaknya sudah melakukan pembibitan sebanyak 40.000 batang mangrove untuk ditanam Oktober mendatang.
Patroli Swadaya dengan Keterbatasan
Perjuangan KTH Tunas Tanjung Harapan dalam menjaga kelestarian mangrove tidaklah mudah. Salah satu tantangan terbesar adalah pengawasan terhadap aktivitas ilegal di hutan mangrove. “Kami sering menghadapi penebangan liar, tetapi kami hanya bisa patroli dengan jalan kaki. Sulit sekali memantau seluruh kawasan tanpa perahu,” ujar Dedi.
Mereka berharap dukungan lebih besar dari pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk meningkatkan akses dan perlengkapan yang diperlukan untuk menjaga hutan mangrove apalagi karena desanya ujung daratan Pulau Sumatera.
Sebagai benteng pelindung dari abrasi laut, hutan mangrove juga menjadi sumber kehidupan dan warisan alam yang harus dilestarikan. Dia ingin hutan tetap asri, sehingga semua orang bisa menikmati manfaatnya dan hidup dari hasil alam yang berkelanjutan.
Sabran mengatakan, saat ini KTH Tunas Tanjung Harapan sedang membibitkan bakau minyak dan bakau putih masing-masing 20.000 batang untuk ditanam di lahan yang kosong dan rusak sehingga terjadi pemulihan ekosistem.
Ekonomi Warga Membaik
Dikatakannya, seiring membaiknya hutan mangrove di desanya, secara perlahan berdampak pada peningkatan ekonomi warga. Kepiting, udang, dan ikan semakin mudah didapat di alam. Dari sebelumnya hanya bisa mendapatkan 10 kg sekali panen, sekarang lebih dari 2 kali lipat.
“Situasinya berangsur berbalik dari sebelumnya Ketika hutan mangrove rusak. Jadi upaya pemulihan ini berdampak bagi kami,” katanya.
Memanfaatkan Pasang Surut
Sabran kemudian bercerita tentang tambak alam milik masyarakat yang membudidayakan kepiting, ikan dan udang. Masyarakat memanfaatkan arus pasang surut yakni memanfaatkan pintu air tambak untuk mengalirkan air laut ke tambak saat air pasang besar.
Kemudian mengambil hasil tangkapan dengan menggunakan perangkap seperti bubu kepiting atau ambai untuk ikan dan udang. “Penghasilan nelayan di sini rata-rata mencapai Rp100.000 per hari dari hasil kepiting, dan pendapatan meningkat saat terjadi pasang besar, yang biasanya terjadi dua kali sebulan,” katanya.
Namun, harga kepiting sering kali berfluktuasi. Pada musim tertentu, harga kepiting di pasaran kisaran p 70.000 – Rp 100.000 per kg. Kadang bisa melejit Rp 200.000 – Rp 300.000 per kg. Puncaknya terjadi di bulan Januari hingga Maret saat panen raya.
Usman, pemilik tambak alam yang juga anggota kelompok mengeluhkan harga jual kepiting. Di desa sebelah, harga kepiting lebih mahal. “Perbedaannya bisa 50%. Misalnya, kepiting jumbo saat Imlek di sini Rp 500 ribu, di Langkat bisa Rp 700 ribu – Rp 800 ribu,” ujarnya.
Masyarakat biasanya menjual ke tengkulak-tengkulak yang datang ke desa. Ada di antara mereka menetap di daerah di desa. Masyarakat tidak punya pilihan selain menjual ke mereka karena tidak tahu harus menjual ke mana.
“Kami hanya mendengar bahwa di luar sana harga lebih tinggi, sementara tengkulak yang datang ke sini membayar jauh lebih murah. Anehnya lagi, dalam sehari bisa dua kali berubah harganya. Pagi Rp30 ribu per kg, sore turun jadi Rp 20 ribu. Nggak tahu apa alasannya,” katanya.
Kerusakan Mangrove dan Penurunan Hasil Tangkap
Dikatakannya, sekitar 10 tahun lalu penghasilan nelayan dari hasil tangkapan kepiting mencapai Rp 300 ribu – Rp 500 ribu per hari. Situasnya berubah saat terjadi perambahan hutan mangrove secara illegal. “Kami tidak tahu siapa yang melakukan perambahan, tapi tiba-tiba kami melihat ada yang menebang dan membawa kayu dari hutan,” katanya.
Adalah Wibi Nugraha, penggiat mangrove yang juga nominasi penerima Kalpataru 2024. Menurutnya kelompok ini telah merehabilitasi mangrove di SM Karanggading LTL sejak 2011 dan membentuk kelompok tani secara resmi tahun 2021. Jumlah pohonnya signifikan dan berdampak besar bagi ekosistem setempat.
Wilayah ini mencakup sekitar 14.000 hektar. Kelompok ini diberikan kemitraan konservasi pada lahan seluas 138 hektar. “Lokasi ini berada sangat dekat dengan Selat Malaka, hanya sekitar dua kilometer dari pantai,” ungkapnya.
Hutan mangrove berperan penting dalam perkembangbiakan udang dan kepiting, menunjukkan betapa vitalnya kelestarian mangrove bagi lingkungan dan mata pencaharian masyarakat pesisir. Sudah terbukti, rehabilitasi mangrove membantu meningkatkan hasil laut dan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.
“Dengan menjaga hutan mangrove, artinya tidak hanya melindungi sumber penghidupan, tetapi juga membantu lingkungan dalam jangka panjang. Ini adalah upaya kecil kami dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin terasa,” katanya.
Contoh dari Lubuk Kertang
Di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Langkat, lanjut Wibi, juga ada hutan mangrove yang memiliki sejarah panjang dalam mendukung lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Hutan tersebut pernah menjadi role model nasional untuk konservasi mangrove, bahkan menjadi destinasi wisata unggulan di Indonesia sebelum pandemi COVID-19 melanda.
Di tengah keberhasilan konservasi, masalah besar tetap mengancam hutan mangrove. Wibi mengungkapkan bahwa dari tahun 2020 hingga 2023, sekitar 700 hektar hutan mangrove di Lubuk Kertang rusak akibat penebangan liar.
“Ada oknum-oknum tak bertanggung jawab yang menebang mangrove di malam hari, ketika para nelayan sedang beristirahat,” katanya.
Dalam kasus itu Kapolda Sumut saat itu, Irjen Pol Agung Setia Imam Effendi turun langsung dan berhasil menekan aktivitas ilegal tersebut. Saat ini meskipun hutan sempat rusak, para nelayan di Lubuk Kertang dapat kembali merasakan manfaat dari ekosistem mangrove yang mulai pulih.
“Sekarang, satu orang nelayan bisa menangkap sedikitnya 150 kilogram kepiting dalam satu hari,” tambah Wibi.
Rehabilitasi dan Kolaborasi untuk Masa Depan
Wibi menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, lembaga swasta, TNI, Polri, dan masyarakat dalam menjaga dan merehabilitasi hutan mangrove. Ia juga mengapresiasi inisiatif Presiden Joko Widodo yang mencanangkan slogan Hutan Lestari, Masyarakat Sejahtera. Menurut Wibi, ini adalah visi yang realistis dan dapat diwujudkan dengan komitmen bersama.
“Hutan mangrove yang lestari tidak hanya menyelamatkan ekosistem, tapi juga bisa membuat masyarakat sejahtera. Ini adalah contoh nyata bagaimana lingkungan dan ekonomi bisa berjalan beriringan,” ungkapnya.
Peran Media dan Dukungan untuk Kelompok Masyarakat
Sebagai penggiat lingkungan, Wibi juga meminta dukungan dari berbagai pihak, termasuk media, untuk terus memberikan perhatian dan apresiasi terhadap upaya konservasi mangrove. “Saya berterima kasih kepada teman-teman media yang selalu memberitakan kondisi hutan mangrove. Ini sangat penting untuk membangun kesadaran masyarakat,” ujar Wibi.
Ia juga berharap kelompok-kelompok masyarakat yang aktif dalam pelestarian mangrove terus didukung dan dilibatkan dalam upaya rehabilitasi hutan. Dengan demikian, cita-cita untuk menciptakan hutan yang lestari dan masyarakat yang sejahtera dapat terwujud di berbagai wilayah pesisir Indonesia.
Leave a Comment