Protes Perusakan Mangrove, Annuar Akan Kembalikan Kalpataru
DELI SERDANG, FORESTEARTH.id – Awal Februari 2017 lalu, Annuar atau yang lebih dikenal dengan Ucok Bakau menerima penghargaan Kalpataru pada puncak Peringatan Hari Lingkungan Hidup 2017 di Gedung Manggala Wanabhakti Kantor Kementrian Lingkungan Hidup, Jakarta, yang dihadiri Presiden Joko Widodo. Dia adalah warga yang berasal dari Pantai Labu, Deli Serdang, Sumatera Utara. Tak sampai setahun, dia berniat mengembalikan penghargaan tersebut ke Presiden.
Dia beralasan, penghargaan itu hanya menjadi beban tanggung jawab yang tidak lagi harus dipertahankan mengingat semakin hancurnya hutan bakau di pesisir Pantai Labu. Penyebabnya, karena aktivitas pengerukan pasir yang diduga untuk menimbun Bandara Internasional Kualanamu, pada 2008 silam.
Dampak pengerukan pasir tersebut menurutnya terus memperparah hutan bakau yang ditanami oleh masyarakat dan berbagai kelompok maupun instansi pemerintah selama ini. Di Dusun III, Desa Rugemuk, tempatnya menanam ribuan batang mangrove kini hancur tak bersisa. Pondok yang dibangun di tepi pantai untuk memantau mangrove berikut dengan titi kayu yang ‘membelah’ lebatnya hutan mangrove musnah akibat abrasi yang tak tertahankan.
“Kalau mau dihitung, luasnya melewati 5 dusun, lebatnnya, dari bibir pantai ke ujung mangrove, ada 150 meter, itu sudah hilang,” katanya di Medan (26/1/2018).
Pria yang menerima Kalpataru karena dinilai berjasa mengembangkan penanaman hutan mangrove (bakau) hingga ke luar daerah merasa pekerjaannya sia-sia. Ucok yang berhasil menghijaukan ratusan hektare pesisir Pantai Labu dengan mangrove yang ditanamnya dan juga membudidayakan bibit mangrove ini menilai bahwa pemerintah sudah abai dengan pelestarian mangrove.
Dikatakannya, saat ini sedang berlangsung pengerukan pasir lagi di wilayah yang menjadi tempat mencari ikan oleh nelayan tradisional. “Kalau pemerintah tidak mau membenahi pesisirnya, saya akan mengembalikan Kalpataru ini. Kalau saya memegang piagam ini, saya seperti memegang beban amanah dari pemerintah. Yang saya lihat, pemerintah membiarkan perusakan pesisir dengan pemberian izin untuk pengerukan pasir laut,” katanya.
Manajer Program Wilayah kelola Rakyat Walhi Sumut, Antonio Sipayung mengatakan, abrasi di Pantai Labu disebabkan oleh operasi tambang pasir laut yang dilakukan sejak 2008 dan berlanjut hingga kini. Apalagi, operasional tambang pasir laut ini dilakukan di wilayah yang kurang dari 2 mil dari bibir pantai yang menjadi wilayah kelola rakyat.
Pihaknya memprotes keras adanya operasional penambangan pasir laut yang dilakukan 6 izin usaha pertambangan (IUP) di Pantai Labu dan 2 di serdang Bedagai dan Belawan. “Di tahun 2008, ada dua IUP dan hasilnya menghancurkan pesisir secara hebat di Pantai Labu. Satu di antaranya kini beroperasi lagi. Kalau semua IUP beroperasi, alangkah mengerikan situasinya nanti. Makanya kita memprotes keras pertambangan pasir laut di sini,” ungkapnya.
Terkait kerusakan di pesisir Pantai Labu, Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara mencatat tujuh izin usaha pertambangan (IUP) pasir menjadi ancaman hancurnya ekosistem pesisir timur Sumatera Utara. Harus ada perhatian serius pemerintah sebelum kerusakan semakin parah.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Sumatera Utara (Walhi Sumut) tahun 2016, IUP tersebut beraktivitas pengerukan pasirnya di perairan Pantai Labu, Deli Serdang dengan masa berlaku izinnya selama 3 – 5 tahun. Perusahaan ini mendapatkan izin dengan dua nomor surat di lokasi yang sama. Di tahun 2017, terbut 1 IUP dengan masa berlaku izinnya selama 5 tahun.
“Di tahun 2017 mereka juga mengeluarkan satu IUP dengan masa berlaku lima tahun. Ini mengerikan,” katanya.
Dia menuturkan, dari tujuh IUP tersebut, baru 2 yang beroperasi mengeruk pasir laut Pantai Labu. Namun, dampak yang ditimbulkan sangat parah. Di Desa Rugemuk, kata dia, sudah kehilangan 150 – 200 meter hutan mangrovenya dan kini terrendam air laut. “Abrasi hebat terjadi selama beberapa tahun terakhir,” ujarnya. Dia menuturkan, sebelumnya, dari keterangan Kepala Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Sumatera Utara, sebenarnya ada 11 IUP yang memproses. Namun baru 7 yang izinnya dikeluarkan.
Dia menilai, dengan operasional 2 perusahaan saja kawasan pesisir sudah hancur. Jika kesemua IUP beroperasi maka akan sangat luas daratan Pantai Labu akan hilang dalam waktu tidak lama. “Potretnya, mereka mengeruk pasir dari Pantai Labu untuk menimbun lokasi lain seperti Kuala Namu dan Belawan. Tapi dampaknya menenggelamkan Pantai Labu,” katanya.
Dia memprediksi, hampir 100 % hutan mangrove di Deli Serdang sudah musnah. “Pemerintah tak memerhatikan mangrove bahkan izin yang sudah dikeluarkan. Saya katakan bahwa di Pantai Labu sudah terjadi pelanggaran hak azasi manusia,” ujarnya.
Leave a Comment