Menilik Tempat Perlindungan Orangutan yang Tak Mungkin Dilepasliarkan ke Alam di Orangutan Haven
MEDAN, ForestEarth.id – Sebanyak 8 individu orangutan sumatera (Pongo abelii) yang tidak lagi bisa dilepasliarkan ke habitatnya menghuni tempat baru di Kecamatan Pancur Batu, Deli Serdang, dari sebelumnya di Pusat Konservasi Orangutan Sumatera yang dikelola Yayasan Ekosistem Leuser-PanEco bersama Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KSDAE-KLHK) RI di Batu Mbelin, Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang.
Hal tersebut terungkap saat konferensi pers di Medan, Senin (13/11/2023) siang. General Manager Orangutan Haven, Hetty Berliana Damanik mengatakan, nama tempat baru untuk orangutan unreleasable atau tak bisa dilepasliarkan ke habitatnya itu bernama Orangutan Haven yang berarti tempat perlindungan bagi orangutan. Dikatakannya, Orangutan Haven adalah ‘saudara kandung’ dari PKOS di Batu Mbelin.
Hetty menjelaskan, Orangutan Haven berstatus sebagai taman satwa yang izinnya didapat pada bulan Januari 2023. Lokasinya berada di Jalan Jamin Ginting, Desa Bintang Meriah. Lokasinya bisa ditempuh dalam waktu 45 menit dari Kota Medan. Luasnya lebih dari 50 hektare.
Ide program ini diinisiasi bersama KSDAE-KLHK pada 2016-2017. Di tahun 2018 program ini masuk di rencana kerja tahunan. Awalnya mengarah pada lembaga konservasi (LK) khusus. Setahun kemudian, pihaknya bersama KSDAE dan BBKSDA Sumut sepakat agar Orangutan Haven akan dijadikan sebagai LK umum. Konsepnya seperti kebun binatang. Ada sejumlah alasan perubahan LK khusus menjadi LK umum.
“Kenapa ke LK umum, kepentingannya adalah Orangutan Haven pada awalnya diinisiasi untuk menjadi tempat bagi orangutan yang sudah direscue, direhabilitasi dan dikarantina bertahun-tahun, kemudian kita bersepakat bahwa mereka tidak mungkin lagi dilepasliarkan ke hutan alaminya karena tak lagi punya kemampuan untuk survive,” katanya.
Pertimbangan lebih lanjut adalah, orangutan unreleaseble itu bisa lebih bermanfaat untuk sarana edukasi. Sehingga di tahun 2019 disepakati untuk mengeluarkannya dari program kerjasama dengan bentuk perjanjian kerjasama KSDAE dengan YEL. Yakni, mendirikan unit usaha di bawah YEL dengan nama PT Orangutan Haven. Karenanya prosesnya cukup lama karena status tanah harus clean and clear. Hingga pada Januari 2023 pihaknya mendapat SK sebagai LK umum dari KLHK.
“Pada 10 Juli 2023, SK Dirjen KSDAE kita peroleh bahwa 8 orangutan yang statusnya setelah dikaji, bahwa memang tidak akan mungkin dilepasliarkan ke hutan, kita diberikan izin untuk menjadi koleksi di Orangutan Haven. Tapi di situ juga akan ada aviary, untuk pengembangbiakan burung pekicau sumatera,” katanya.
Dijelaskannya, dari lokasi seluas 50 hektare lebih itu baru selesai tahap I, yakni bagian depan, parkiran, jembatan terbuat dari bambu yang ikonik, pusat eksebisi rainforest centre, restoran yang bahan bakunya dari pertanian organik. Saat ini juga sedang dipersiapkan 3 ecotrail yang namanya mewakili lokasi kerja YEL di sekitar Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Ketiga ecotrail ini mengarah ke kepulauan (buatan) Orangutan Haven.
“Kepulauan Orangutan Haven itu adalah ikonnya, ada 9 pulau buatan yang tadinya adalah areal persawahan. Di dalam 9 pulau ini ada 4 rumah orangutan,” katanya.
Apa Saja yang Diperbolehkan di Orangutan Haven
Ada beberapa aktifitas yang bisa dilakukan di Orangutan Haven selain untuk edukasi konservasi. Di tempat ini juga menyediakan restoran yang bahan bakunya berasal dari lahan pertanian organik di tempat tersebut, dan juga tempat untuk keperluan sosial lainnya yang bisa menampung 200 orang. Hanya saja, fasilitas itu saat ini belum ada.
“Visitor center belum ada. Ini baru ada desainnya. Kapasitasnya bisa menampung 200 orang. Dangdutan boleh nggak, boleh kayaknya. Tapi itu belum ada. Kami berharap dua tahun ke depan tempat itu menjadi establish. sehingga kita bisa buat pameran dan beracara di sana. Kalau nanti ada tapi itu bisa dipastikan lokasi itu tak akan mengganggu pulau,” katanya.
Penyelamatan 400 Orangutan
Hetty menambahkan, sejak 2001 hingga saat ini sudah ada 400 lebih orangutan hasil pelihara ilegal maupun penyelamatan telah direhabilitasi di PKOS di Batu Mbelin. Sebagian besar dilepasliarkan di hutan. Dari angka itu, ada 8 orangutan yang tidak mungkin dilepasliarkan karena kondisi kesehatannya atau karena pengalaman panjang hidupnya sudah tidak dekat dengan hutan yang harusnya menjadi habitat alaminya.
“Oleh karena itu kita sepakat dengan KSDAE untuk memberi tempat hidup yang lebih baik daripada di kandang besi dan mereka akan menjadi duta konservasi dan perlindungan satwa untuk kita semua,” katanya. Dengan kondisi itu, misi utama Orangutan Haven lainnya adalah misi pendidikan lingkungan hidup.
Meskipun status Orangutan Haven bisa dikunjungi publik tapi khusus daerah kepulauan sangat terbatas untuk mengaksesnya. Saat ini, Orangutan Haven belum buka untuk publik. Tapi sudah ada beberapa sekolah berkunjung ke Orangutan Haven untuk belajar berbagai fasilitas seperti pertanian organik, bambu dan lainnya. “Di daerah kepulauan itu, akan tetap steril dari pengunjung. Ketika sudah terbuka untuk publik, kunjungan ke pulau akan tetap terbatas,” katanya.
Begitu juga dengan jarak antara orangutan dengan manusia akan sangat jauh. Dari 9 pulau yang berisi 5 rumah orangutan, hanya 1 yang bisa disinggahi pengunjung dari anjungan. Nantinya tidak akan ada kontak langsung antara orangutan dengan pengunjung untuk menghindari penularan penyakit.
Drh. Yenny Saraswati, yang terlibat dalam program rehabilitasi, mengatakan, 8 orangutan unreleasable ini sudah berada di PKOS Batu Mbelin antara 8 – 12 tahun. Dari 8 orangutan itu, 5 di antaranya buta, orangutan Leuser, Tahung, Lewis, Dina dan Hope.
“Mereka ini butanya buta total karena luka tembakan yang mengenai bola matanya. Sedangkan orangutan Dina, orangutan paling kecil kebetulan pada waktu disita bersama BBKSDA Sumut, orangutan Dina ini sudah terkena malaria yang mengenai otak. Dan mengalami panas hingga 40-41 derajat, usianya di bawah 1 tahun. Demam tinggi itu merusak syaraf matanya,” katanya.
Temuan itu sudah didiskusikan dan dikonsultasikan bahwa saraf yang rusak susah disembuhkan. Namun jika pada kornea dan lensa ada kemungkinan disembuhkan. Namun yang terjadi pada Dina adalah bagian syaraf. “Maka ini sangat sayang sekali karena orangutan Dina ini orangutan yang paling kecil di Orangutan Haven meski umurnya saat ini sudah 8 tahun. Tapi saat masuk waktu itu kurang dari 1 tahun,” katanya.
Orangutan lainnya, lanjut Yenni, sudah lebih dari 20 tahun dipelihara secara ilegal. Dijelaskan Yenni, masa golden age untuk pembelajaran orangutan adalah di usia 7 – 15 tahun. Orangutan berusia di bawah 7 tahun masih bisa direhabilitasi. Namun untuk usia di atas 20 tahun akan sulit karena orangutan itu sudah malas gerak (mager). Jika orangutan itu lama dipelihara dan cukup dekat dengan manusia, juga sulit untuk dilepasliarkan ke alam.
“Yang dikhawatirkan, jika sifat agresif orangutan dan daya survival-nya tidak ada lagi. Karena 20 tahun dipelihara dia tidak belajar bertingkahlaku hidup di hutan. Dia akan tidur di bawah. Padahal orangutan adalah satwa arboreal atau tidur di atas, dan kita tahu predator utama di hutan kita adalah harimau, atau ada ular dan kucing dahan, membahayakan kalau orangutan tak mau tinggal di atas atau nesting,” katanya.
Yenni menambahkan, Orangutan Haven didesain sedemikian rupa sehingga memberi jarak yang cukup untuk menghindari penularan penyakit dari manusia ke orangutan dan sebaliknya. Hal tersebut sesuai dengan guidelines dari International Union for Conservation of Nature (IUCN). Bahwa batas minimal kontak manusia dengan great apes adalah 10 meter. Desain di Orangutan Haven lebih dari 10 meter sehingga penularan penyakit sangat minim terjadi.
“Di sisi orangutannya, mereka akan dapat annual medical check up. Pemeriksaan lengkap untuk mengetahui apakah ada penyakit baru. Jadi ada interaksi di sini interaksi yang terbatas dan persyaratan jarak itu tetap ada,” katanya.
Kemudian mengenai bagaimana membiasakan orangutan dari sebelumnya di PKOS sepi kemudian di Orangutan Haven ada banyak orang, untuk diketahui bahwa orangutan tersebut buta sehingga tidak akan terlalu berefek asal tidak ramai. Selain itu, orangutan ini juga dilakukan training untuk biasakan orangutan terbiasa dengan keepernya dan akan melakukan perintah dari keepernya dan akan ignoring panggilan selain keeper.
“Kepulauan orangutan ini jauh dari restoran dan visitor centernya. Kalau ada keramaian di atas. Di sini ada pembatasan. Setiap hari ada jumlah maksimal pengunjung, meski seribu yang akan masuk, yang diberi izin masuk mungkin hanya 100/hari. Kita juga tidak akan menggaransi orang akan melihat orangutan. kalau lagi senang di pulau ya kita bisa lihat, tapi kalau dia lagi ngerasa mau tidur di rumah ya, kita tidak akan mengadakan di pulau,” katanya.
Bukan Animal Show
Yenni menambahkan, Orangutan Haven adalah yang pertama di dunia untuk orangutan yang cacat. Di kebun binatang di seluruh dunia tidak ada ditampilkan orangutan yang cacat. “Ini bukan untuk animal show. Ini kita memberi jaminan kesejahteraan satwa untuk orangutan yang tidak bisa dilepasliarkan. Dan pembatasan pengunjung itu agar dapat belajar ekologi, memahami kenapa di sini,” katanya.
Leave a Comment