Menguatkan MHA Simardangiang Melalui Pusat Adat
TAPANULI UTARA, ForestEarth.id – Green Justice Indonesia menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk memperkuat keberlanjutan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Tapanuli Utara, salah satu hal yang dibahas adalah rencana pembangunan Pusat Adat Simardangiang, Selasa (22/10/2024). Kegiatan ini melibatkan pemangku kepentingan seperti pemerintah desa, masyarakat adat, akademisi, dan dinas terkait.
Direktur Green Justice Indonesia, Panut Hadisiswoyo, mengungkapkan bahwa dukungan dari pemerintah dan masyarakat sangat penting dalam mencapai hasil yang signifikan, terutama terkait dengan pengelolaan hutan adat dan pengembangan produk berbasis lokal.
“Dari zaman Pak Nixon Nababan (Bupati Tapanuli Utara 2019-2024), kami sudah berkoordinasi dengan pemerintah. Syukurnya, pemerintah setempat, termasuk Forkopimda, sangat suportif dalam mendukung usulan-usulan yang kami ajukan,” ujarnya.
Salah satu inisiatif yang sedang berjalan adalah pengolahan haminjon (kemenyan) menjadi minyak kemenyan, yang memiliki nilai ekonomi tinggi, terutama sebagai bahan utama untuk parfum. Desa Simardangiang saat ini menjadi satu-satunya desa di Tapanuli Utara yang memiliki kemampuan untuk mengolah kemenyan menjadi minyak.
“Masyarakat di desa ini sudah berhasil memproduksi minyak kemenyan dan parfum. Ini adalah salah satu bentuk usaha yang kami dorong untuk meningkatkan ekonomi masyarakat,” katanya.
Upaya ini merupakan bagian dari mandat pemerintah yang terkait dengan pengelolaan hutan adat. Setelah diberikan Surat Keputusan (SK) terkait hutan adat, diperlukan adanya rencana yang jelas untuk pengelolaan hutan tersebut. Hal ini mencakup penguatan MHA melalui pembangunan pusat adat di Simardangiang yang akan menjadi ikon wilayah Tapanuli Utara.
Pusat adat ini nantinya tidak hanya berfungsi sebagai tempat penguatan nilai-nilai adat, tetapi juga sebagai sentra ekonomi berbasis kerajinan local yang berorientasi kepada adat dan nilai-nilai hutan adat di Simardangiang. Di sana, akan terdokumentasikan berbagai nilai-nilai adat serta produk-produk ekonomi seperti pengolahan kemenyan dan kerajinan tangan.
Meski sudah ada sejumlah sumber daya yang siap untuk mendukung proyek ini, Panut mengakui masih ada tantangan yang harus diatasi. Salah satunya adalah kepastian mengenai lokasi pembangunan pusat adat tersebut. Oleh karena itu, ia mengajak semua pihak untuk memberikan masukan dan dukungan dalam mewujudkan rencana besar ini.
Dikatakannya, saat ini masih dibutuhkan masukan dari berbagai pihak untuk membantu mewujudkan ini. Berbagai hal akan diskusikan termasuk misalnya lokasi pembangunan, dari mana mendapatkan bahan-bahan yang mungkin akan bisa digunakan.
“Kita memiliki sejumlah resources yang bisa kita gunakan dalam bentuk biaya untuk pengerjaan pembangunan dan bahan-bahannya namun mungkin membutuhkan hal-hal yang bersifat prinsip misalnya tempat itu. Kita belum mendapatkan kepastian hingga saat ini,” katanya.
Menurut Panut, dengan potensi besar yang dimiliki oleh MHA Simardangiang, proyek ini diharapkan tidak hanya melestarikan adat dan budaya, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Masyarakat Hutan Adat Simardangiang, Sardi Sitompul mengatakan, pihaknya dengan senang hati menyambut program pembangunan pusat adat yang akan dilaksanakan untuk memberdayakan ekonomi dan menjadi pusat pembelajaran bagi masyarakat.
“Kami sangat mendukung inisiatif ini dan siap memberikan bantuan serta menerima program ini dengan antusias, mengingat besarnya potensi yang ada di wilayah kami. Semoga diskusi yang kita mulai ini dapat berjalan dengan lancar dari awal hingga akhir.”
Desa Simardangiang Didorong Menjadi Pusat Adat dan Ekonomi Berbasis Hutan Adat
Sementara itu, Kepala Desa Simardangiang, Tampan Sitompul mengungkapkan rasa syukur atas kemajuan yang dicapai masyarakat hukum adat (MHA) di desanya selama empat tahun terakhir, berkat dukungan dari berbagai pihak, termasuk GJI dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.
Tampan menekankan pentingnya memaksimalkan sumber daya alam dan manusia yang dimiliki desa untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
“Jangan lupa sudah 4 tahun GJI di sini yang kita dapatkan khususnya masyarakat hukum adat Simardangiang yang sudah sangat banyak. Namun kita akui masih ada tantangan dalam memaksimalkan sumber daya manusia dan alam yang kita miliki,” katanya.
Ia juga menyoroti kerjasama erat antara pemerintah desa dan masyarakat, serta dukungan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dalam pemberian Surat Keputusan (SK) hutan adat seluas 6.567 hektar dari Bupati dan 2.917 hektar dari Kementerian Kehutanan.
Menurutnya, pemberian SK hutan adat tersebut harus dimanfaatkan secara maksimal untuk peningkatan ekonomi masyarakat. “Kalau kita terima SK tanpa memanfaatkannya, itu tidak ada gunanya. MHA Simardangiang harus mampu memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, seperti getah kemenyan, karet, jengkol, petai, dan durian, yang semuanya menjadi sumber kehidupan desa ini,” tuturnya.
Ia menegaskan Desa Simardangiang terkenal sebagai salah satu penyangga hutan. Masyarakatnya menjaga hutan mereka dengan ketat, memastikan tidak ada kayu yang diperjualbelikan keluar dari desa kecuali untuk keperluan pembangunan rumah atau ibadah di desa. “Sebatang kayu pun tidak boleh keluar tanpa izin. Tidak ada ilegal logging di sini,” katanya.
Simbol penguatan MHA
Dalam rangka pengembangan ekonomi desa, GJI hadir di Simardangiang untuk mendirikan pusat adat yang akan menjadi simbol penguatan MHA. Pembangunan pusat adat ini tidak hanya akan mendukung penguatan budaya, tetapi juga memberikan potensi untuk meningkatkan sektor pariwisata dan ekonomi desa melalui wisata alam dan lingkungan.
“Kami berencana menjadikan sumber air dan potensi alam lainnya sebagai daya tarik wisata yang bisa mendukung ekonomi desa. Ini akan kami diskusikan lebih lanjut dengan dinas-dinas terkait, termasuk potensi desa ini untuk mendapatkan manfaat dari program karbon,” jelas Kepala Desa.
Ia berharap pembangunan pusat adat Simardangiang bisa menjadi contoh bagi desa-desa lain di Kecamatan Pahae Julu untuk ikut serta dalam menjaga dan memanfaatkan potensi hutan adat secara berkelanjutan. “Kami berharap hasil dari diskusi ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat hukum adat Simardangiang dan menjadikan desa ini sebagai ikon yang membanggakan di wilayah Pahae Julu,” katanya.
Camat Pahae Julu, Ade Harry Situmorang mendukung rencana pembangunan pusat adat di Desa Simardangiang, yang dinilainya sebagai strategi penting dalam pemberdayaan ekonomi dan pengembangan pusat pembelajaran bagi Masyarakat Hukum Adat (MHA).
“Saya sangat tertarik dengan pembangunan pusat adat ini karena ini adalah salah satu fungsi pemerintah, yakni memberdayakan masyarakat untuk peningkatan ekonomi,” ujar Camat Pahae Julu.
Menurutnya, keterkaitan antara program ini dengan dukungan SK dari Bupati Tapanuli Utara dan Menteri Kehutanan menunjukkan pentingnya kesinambungan upaya pengelolaan hutan adat yang telah diberikan kepada masyarakat. Ia juga menekankan bahwa pembangunan pusat adat ini harus dimulai dari kesadaran masyarakat sendiri.
“Ini harus dimulai dari diri sendiri, terutama dalam menjaga lingkungan. Masyarakat Desa Simardangiang memiliki peran penting dalam menjaga kawasan hutan, dan ini menjadi daya tarik tersendiri,” jelasnya.
Terkait dengan biaya yang diperlukan untuk pembangunan pusat adat, Camat Pahae Julu menyadari bahwa tantangannya sangat besar. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya melibatkan pihak ketiga, seperti investor, untuk membantu mewujudkan proyek ini. “Kami bisa bantu, tapi syaratnya adalah keseriusan dari semua pihak,” tambahnya.
Camat menyatakan pentingnya koordinasi dengan dinas-dinas terkait, seperti Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Lingkungan Hidup, agar pembangunan pusat adat ini dapat berdampak luas. Ia mencontohkan inovasi yang dilakukan di Samosir dalam mengembangkan pariwisata sebagai inspirasi bagi Simardangiang untuk menggali potensi lokal, seperti produk haminjon (kemenyan) yang bisa dikembangkan menjadi parfum.
“Potensi di Simardangiang itu besar, dari hutan hingga produk lokal. Kita harus memanfaatkannya secara optimal untuk menarik orang datang dan belajar di sini,” tuturnya.
Ade berharap agar pembangunan pusat adat ini tidak hanya menjadi angan-angan. Ia mengajak semua pihak untuk bekerja sama dan mengesampingkan ego demi kesejahteraan masyarakat. “Harapan saya, kita semua bergandengan tangan dan serius dalam menjalankan program ini,” pungkasnya.
Pusat Adat Simardangiang sebagai Upaya Pelestarian Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat
Manajer Program GJI, Sofian Adly mengatakan, FGD ini untuk membahas rencana pembangunan Pusat Adat melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah desa, kecamatan, serta masyarakat adat yang bersinggungan langsung dengan pengelolaan hutan.
Dikatakannya, tujuan utama pembangunan pusat adat adalah menciptakan ruang pelestarian budaya, pendidikan, serta pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. “Pusat adat ini akan menjadi simpul utama yang menggerakkan seluruh kegiatan pelestarian budaya dan pemberdayaan masyarakat, terutama dalam hal pengelolaan hutan adat,” ujarnya.
Proses FGD ini dirancang secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat secara langsung. Peserta FGD dibagi menjadi tiga kelompok yang membahas berbagai aspek pembangunan pusat adat. Setiap kelompok didorong untuk memberikan masukan terkait beberapa tema penting, seperti desain dan fungsi pusat adat, pelibatan masyarakat, serta mekanisme pendanaan.
“Setiap kelompok akan diberikan pertanyaan-pertanyaan panduan untuk membantu mendiskusikan tema-tema yang relevan. Ini penting agar seluruh masyarakat merasa terlibat dalam perencanaan dan memastikan pusat adat ini benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka,” ujarnya.
Pria yang akrab dipanggil Ali ini menjelaskan sebelum mencapai tahap pembangunan fisik, berbagai persiapan telah dilakukan. Mulai dari sosialisasi mengenai Surat Keputusan (SK) pengelolaan hutan adat yang telah diterbitkan oleh Bupati dan Kementerian Lingkungan Hidup, hingga pemetaan dan identifikasi area pengelolaan hutan.
“Kami telah mengidentifikasi sekitar 2.917 hektar hutan adat yang telah di-SK-kan, serta 517 hektar hutan produksi yang bisa dikelola oleh masyarakat desa,” jelasnya.
Selain aspek fisik, FGD juga membahas pentingnya pelatihan dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan serta memanfaatkan hasil hutan secara ramah lingkungan. Dalam diskusi tersebut, Ali juga menyoroti rencana pelatihan pembuatan produk lokal seperti parfum berbasis hasil hutan.
Ia menekankan pentingnya adanya monitoring dan evaluasi agar pusat adat dapat dikelola dengan baik dan berkelanjutan. Dikatakannya, pusat adat ini akan dirancang fleksibel, tidak harus berupa bangunan permanen. “Pusat adat ini bisa saja dibangun dari bahan kayu dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, seperti adanya ruang diskusi, tempat display produk lokal, dan fasilitas lainnya,” tutupnya.
Diskusi dalam FGD ini diharapkan dapat memberikan arah yang jelas bagi pembangunan pusat adat di Simardangiang, sekaligus memperkuat sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta untuk bersama-sama mendukung pelestarian budaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat hukum adat.
Dosen antropologi di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Tarutung, Ade Putra Arif Panjaitan mengatakan sangat penting melibatkan masyarakat setempat secara aktif dalam proses pendirian pusat adat ini. Ade mengapresiasi langkah inisiatif pendirian pusat adat ini, yang tidak hanya akan membangun fasilitas fisik, tetapi juga memperkuat sistem sosial dan budaya yang sudah ada di desa tersebut.
Ia menekankan pembangunan pusat adat harus memperhatikan kearifan lokal yang banyak diwariskan secara lisan oleh generasi terdahulu. “Ada banyak kearifan lokal yang tersembunyi dalam cara berpikir orang tua kita, yang disampaikan secara lisan dari mulut ke telinga. Ini adalah tantangan besar di zaman sekarang,” ungkapnya.
Ia juga menyarankan agar pusat adat ini tidak hanya menjadi tempat fisik, tetapi juga dapat mengajarkan generasi muda untuk mendokumentasikan dan menyebarluaskan kearifan lokal, baik melalui tulisan maupun konten digital. “Generasi berikutnya perlu diajari bagaimana mendokumentasikan dan menyebarkan kearifan lokal ini, agar tidak hilang di tengah modernisasi,” tambahnya.
Ade Putra juga mengingatkan pentingnya pendekatan yang ramah lingkungan, ramah gender, dan ramah anak dalam mendirikan pusat adat ini, sehingga semua kalangan masyarakat merasa nyaman dan terlibat dalam kegiatan yang ada di pusat kajian tersebut. Di sisi lain, ia menyoroti tantangan terkait kemandirian masyarakat dalam mengelola pusat adat ini di masa mendatang.
“Ketika pendampingan oleh organisasi atau pihak luar selesai, masyarakat harus siap untuk meneruskan dan mengelola sendiri pusat adat ini,” ujarnya, seraya menekankan perlunya menanamkan nilai-nilai gotong royong dan kejujuran dalam proses pembangunan dan pengelolaannya.
Selain itu, ia juga menyampaikan kekhawatirannya tentang belum jelasnya kepastian mengenai lahan dan bahan-bahan yang akan digunakan untuk pembangunan pusat adat. “Kita harus jujur dalam melihat tantangan ini, siapa yang akan menyediakan lahan dan bahan-bahannya? Ini adalah masalah yang harus segera dipecahkan,” tegasnya.
Ade mengatakan, pusat adat ini harus selaras dengan keseharian masyarakat Desa Simardangiang, dan bukan menjadi sesuatu yang asing atau hanya membebani mereka. “Aktivitas yang ada di pusat adat ini harus sesuai dengan kehidupan masyarakat, bukan sesuatu yang diimpor dari luar yang justru terasa aneh dan tidak relevan,” katanya.
Leave a Comment