MEDAN, ForestEarth.id – Sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang melimpah, Indonesia masih sedikit penelitian tentang jamur. Padahal, potensi pasar cukup besar untuk sumber pangan, obat-obatan hingga kosmetik. Peneliti menyebut jamur bisa jadi salah satu solusi penanganan stunting.
Akademisi USU, Liana Dwi Sri Hastuti mengatakannya saat Seminar Nasional Optimalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Secara Berkelanjutan yang digelar Green Justice Indonesia bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU) di Aula Prof. Dr. Suhadji Hadibroto pada Senin (15/9/2025). Seminar ini menghadirkan sejumlah narasumber kompeten.
Dalam kesempatan itu, Liana menjelaskan hasil penelitiannya tentang jamur. Dikatakannya jamur memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai sumber pangan, obat-obatan, hingga kosmetik. Menurutnya, keanekaragaman jamur di Indonesia sangat tinggi karena statusnya sebagai salah satu negara mega biodiversitas.
“Jamur sangat potensial sebagai pangan, obat-obatan, dan kosmetik. Mereka bisa dikembangkan di bidang pertanian, kesehatan, bahkan menjadi solusi untuk krisis pangan, terutama bagi anak-anak yang mengalami stunting karena kekurangan protein,” jelasnya.
Baca juga: Hasil Hutan Bukan Hanya Kayu
Jamur, lanjut Liana, memiliki keunggulan dibandingkan sumber protein hewani seperti ayam atau daging sapi, karena efek sampingnya rendah bagi kesehatan. Namun, meski permintaan jamur di Sumatera Utara tinggi, produksi lokal masih jauh dari mencukupi. “Permintaan jamur sangat besar, tetapi budidaya di Sumatera Utara masih rendah. Padahal banyak spesies jamur yang belum diteliti dan bisa dimanfaatkan,” tambahnya.
Beberapa jenis jamur bahkan bernilai ekonomi tinggi di pasar internasional, seperti jamur susu harimau yang bisa mencapai harga Rp1 juta per kilogram dan jamur travel yang harganya menembus Rp4 juta per kilogram. Namun, menurut Liana, sebagian besar permintaan justru datang dari luar negeri karena kurangnya pemahaman masyarakat Indonesia akan potensi jamur.
Selain bernilai ekonomi, jamur juga berkhasiat bagi kesehatan. Beberapa spesies diketahui dapat membantu mengatasi penyakit kanker, jantung, hingga diabetes. Sayangnya, penelitian di Indonesia masih minim karena keterbatasan musim, biaya, serta sarana pendukung. “Jamur biasanya muncul pada musim hujan dan petir, itu pun terbatas. Penelitian dan riset masih sangat sedikit,” ungkapnya.
Untuk itu, Liana mendorong pemerintah agar lebih serius mendukung pengembangan jamur, termasuk memberikan bantuan kepada petani. Ia mencontohkan pengalaman membina komunitas petani jamur di Medan yang mampu menghasilkan pendapatan hingga Rp20 juta per bulan, meski dengan fasilitas terbatas.
Menurutnya, teknologi budidaya jamur sebenarnya tidak mahal jika dilakukan dengan inovasi sederhana. Misalnya, penggunaan kulkas bekas untuk mengatur suhu atau alat kelembapan rakitan sendiri. “Rekayasa iklim untuk budidaya jamur bisa dilakukan secara sederhana, bahkan dengan peralatan rumah tangga yang dimodifikasi. Jadi ini sangat mungkin dikembangkan sebagai industri rumahan,” terangnya.
Liana menutup paparannya dengan ajakan agar riset dan pemberdayaan masyarakat di bidang jamur diperkuat. “Potensinya luar biasa, baik untuk pangan, kesehatan, maupun ekonomi. Sayangnya kita masih jauh tertinggal dalam pengembangan. Ini saatnya pemerintah dan akademisi bersama-sama mendorong pengelolaan jamur secara serius,” tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, Seminar Nasional Optimalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Secara Berkelanjutan pada Senin (15/9/2025) ini, selain Liana, juga menghadirkan sejumlah narasumber seperti Direktur LESSOS, Purnomo yang menjelaskan tentang problem masyarakat tepi hutan mulai dari kerusakan lingkungan, keterbatasan akses permodalan, pasar, hingga informasi. Akademisi Iwan Risnasari menjelaskan tentang masyarakat selama ini masih terjebak pada pandangan bahwa hutan hanya bernilai dari kayu. Padahal, di balik itu terdapat banyak sumber daya lain yang bernilai ekonomi tinggi
Pada sesi kedua, Onrizal mengatakan pemanfaatan HHBK dinilai mampu menjadi alternatif sumber penghidupan masyarakat sekaligus strategi menjaga kelestarian hutan. Abdul Wahid Harahap, praktisi kopi yang mendampingi Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Permata Hijau di Desa Marancar Godang, LPHD Sugi Natama di Desa Sugi dan LPHD lainnya di Kecamatan Marancar, Tapanuli Selatan. Dia berbagi tentang pengalaman dan pengetahuan pertanian organik untuk kopi.
Kemudian Tampan Sitompul, Kepala Desa Simardangiang dan juga mewakili Masyarakat Hukum Adat Simardangiang, di Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara.